Minggu, 23 Agustus 2009

KH.MAS'UD PAGERWOJO (2)

Selama hidupnya, KH Ali Mas’ud sangat ringan tangan. Beliau sering menjadi rujukan para kiai di Jawa Timur untuk memecahkan problematika umat Islam.
MAKAM Gus Ud, begitu warga Sidoarjo mengenal KH Ali Mas’ud, terletak di Pagerwojo,Kec Kota Sidoarjo. Gus Ud ikut berkiprah menyebarkan Islam dengan berdakwah kepada tamu-tamu yang datang ke rumahnya.
Dia memang tak membangun pesantren, tapi muridnya tersebar di penjuru Jawa dan luar Jawa. Hidayatullah, salah satu cucu keponakan Gus Ud menuturkan, kakeknya itu memang tidak mau langsung membuka pesantren.
”Kalau menyiarkan agama Islam secara langsung tidak, tapi beliau memberi wejangan kepada siapa pun tamunya yang datang. Beliau juga menjadi rujukan kiai yang ada di Jawa Timur untuk memecahkan masalah terkait agama Islam,” jelasnya kemarin kepada SINDO. Gus Ud,kata Hidayatullah,lahir pada 1908 di Sidoarjo.
Ali Mas’ud kecil yang masih berusia 5 tahun sudah menunjukkan kelebihannya. Dia tidak pernah sekolah, tidak bisa membaca dan menulis.Namun dia, lanjut Hidayatullah, bisa membaca Alquran dan kitab-kitab lainnya sehingga wajar, kalau beliau jadi rujukan kiai di Jawa Timur untuk memecahkan masalah keislaman.
”Gus Ud mempunyai Ilmu Laduni sehingga beliau mempunyai kelebihan dibanding orang lain pada kebanyakan. Sampai beliau wafat pada 1979 sampai sekarang, banyak yang berziarah ke makamnya. Terutama malam Jumat Legi,” papar Hidayatullah yang juga pemangku Majelis Taklim Gus Ud. Bagi warga Sidoarjo, ulama yang dulunya akrab dipanggil Gus Ud dan kini lazim dipanggil Mbah Ud, merupakan ulama yang tidak menyandang gelar.
Pasalnya,sebagai orang yang mempunyai kelebihan, dia tidak mau menunjukkan. Bahkan,dalam turut menyiarkan agama Islam, dia menggunakan kelebihannya itu untuk memberi pemahaman bagi umat muslim dan nonmuslim. Hidayatullah menceritakan, Mbah Ud pernah menulis surat ke KH Rodi, Krian, terkait permasalahan yang ditanyakan.
Karena dia tidak bisa menulis, di atas kertas putih dia torehkan pensil membentuk garis bergelombang. Anehnya,KH Rodi bisa mengerti guratan pensil yang dibubuhkan oleh Mbah Ud.
”Kalau peringatan wafatnya Mbah Ud, 27 Rajab mesti ramai penziarah. Bagi warga Sidoarjo, Mbah Ud bukan hanya kiai yang mempunyai kelebihan, bisa mengobati orang sakit dan kelebihan lainnya. Namun, beliau juga ikut menyiarkan Islam melalui pemikirannya,” ujar Supriadi, warga Sidoarjo yang kerap berziarah ke makam suami almarhumah Nyai Dewi itu. Mbah Ud tidak mempunyai keturunan, sehingga saat ini yang merawat makam dan musala peninggalannya adalah cucu dari adik dan kakak Mbah Ud.
Sumber disini

KH. SALEH DARAT

DALAM kitab Alhikam, Kiai Saleh Darat menulis, salah satu tanda kewalian seseorang secara lahiriah adalah banyaknya umat yang berziarah jika ia telah meninggal dunia. Adapun secara batiniah, seseorang itu mampu menjadi wasilah (perantara) doa umat kepada Allah SWT. Kini, bertahun-tahun setelah kematiannya, dua tengara itu justru melekat pada dirinya. Setiap 10 Syawal, ribuan orang mengunjungi makam Kiai Saleh Darat di kompleks Pemakaman Umum Bergota, Semarang. Sebagian di antara mereka juga meyakini bahwa ia seorang wasilah. Terlepas dari benar-tidaknya keyakinan itu, jumlah umat yang hadir tak termungkiri menjadi penanda kebesaran namanya.
Sabtu (12/11), haul ulama besar yang terlahir dengan nama Muhammad Shalih itu kembali digelar untuk kali ke-105. Seperti tahun-tahun sebelumnya, umat berdatangan, tak hanya dari Semarang, tetapi juga kota-kota lain di Jawa Tengah seperti Kendal, Ungaran, Demak, Pati, Purwodadi, Ambarawa, Tegal, Solo, dan Pekalongan. Mereka sudah hadir semenjak pagi, bahkan di antaranya ada yang sengaja menginap sehari sebelumnya.
Dipimpin KH Muhammad Muin Alhafidz, umat yang hadir bersama-sama membaca tahlil. Ketua Pengajian Ahad Pagi 1939 itu juga menyampaikan riwayat Kiai Saleh Darat dalam menyampaikan syiar Islam di Tanah Jawa dan Nusantara. Ulama itu lahir di Desa Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, sekitar tahun 1820. Dalam kitab-kitab yang ditulisnya, dia menggunakan nama Syeikh Haji Muhammad Shalih bin Umar Alsamarani. Adapun kata ''Darat'' di belakang namanya adalah sebutan masyarakat untuk menunjukkan tempat di mana dia tinggal, yakni di Kampung Darat, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara.
Ayahnya, KH Umar, adalah ulama terkemuka yang dipercaya Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa melawan Belanda di wilayah pesisir utara Jawa. Setelah mendapat bekal ilmu agama dari ayahnya, Saleh kecil mulai mengembara, belajar dari satu ulama ke ulama lain. Tercatat KH Syahid Waturaja (belajar kitab fiqih, seperti Fath al-Qarib, Fath Al Mu'in, Minhaj al-Qawim, dan Syarb al-Khatib).
Dia juga belajar kepada KH Muhammad Saleh Asnawi Kudus (tafsir Aljalalain Alsuyuti, KH Ishaq Damaran (nahwu dan sharaf), KH Abu Abdillah Muhammad Hadi Banguni (ilmu falaq), KH Ahmad Bafaqih Balawi (kajian jauharah Attauhid karya Syaikh Ibrahim Allaqani dan Minhaj Alabidin karya Alghazali) serta KH Abdul Gani Bima (kitab Almasa'il Assittin karya Abu Alabbas Ahmad Alghani).
Belum merasa cukup, dia diajak ayahnya memperdalam agama di Singapura, sebelum akhirnya menuju Makkah. Di tanah haram, dia berguru kepada ulama-ulama besar, antara lain Syaikh Muhammad Almarqi, Syaikh Muhammad Sulaiman Hasballah, Syaikh Sayid Muhammad Zein Dahlan, Syaikh Zahid, Syaikh Umar Assyani, Syaikh Yusuf Almisri, dan Syaikh Jamal Mufti Hanafi. Beberapa santri seangkatannya antara lain KH Muhamad Nawawi Banten (Syaikh Nawawi Aljawi) dan KH Cholil Bangkalan.
Pengagum
Seusai menuntaskan pendidikannya, dia mendapat kesempatan mengajar, terutama kepada para santri yang datang dari Jawa. Satu di antaranya adalah KH Hasyim Asy'ari yang kemudian mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). Sepulang dari Makkah, Muhammad Saleh mengajar di Pondok Pesantren Darat milik mertuanya, KH Murtadlo. Semenjak kedatangannya, pesantren itu berkembang pesat.
Para santri berdatangan dari luar daerah. Sebagian di antaranya menjadi ulama terkemuka, antara lain KH Mahfuzd (pendiri Pondok Pessantren Termas, Pacitan), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), KH Idris (pendiri Pondok Pesantren Jamsaren, Solo), KH Sya'ban (ulama ahli falaq dari Semarang), Penghulu Tafsir Anom dari Keraton Surakarta, KH Dalhar (pendiri Ponpes Watucongol, Muntilan), dan Kiai Moenawir (Krapyak, Yogyakarta)
Sumber disini

SUFI BANJAR SYEKH ABULUNG


Sejarah mencatat, bahwa perkembangan tasawuf di Indonesia –dan juga di Tanah Banjar– tidak hanya didominasi oleh aliran tasawuf akhlaki yang dikenalkan sufi Hasan al-Basri ataupun Junaid al-Baghdadi, tetapi juga aliran tasawuf wahdatul wujud yang dipelopori oleh Abu Yazid al-Bustami (874 M) dengan paham al-Fana al-Baqa dan al-Ittihad, Husien ibnu Mansur al-Hallaj (858-922 M) dengan paham al-Hulul, dan Muhyiddin Ibnu Arabi (1165 M-1240), dengan teori Khalq dan al-Haq.
Pengaruh pemikiran tasawuf wahdatul wujud terlihat dari paham tasawuf yang disampaikan Hamzah Fansuri (dari Aceh), Syekh Syamsuddin as-Sumatrani (Sumatera), Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang dengan konsep Manunggaling Kawula Gusti-nya (Jawa). Sementara, untuk kawasan Kalimantan, khususnya Tanah Banjar tokoh tasawuf yang dianggap wahdatul wujud dan sangat populer adalah Syekh Abdul Hamid Abulung.
Legenda tentang ajaran dan meninggal Syekh Abulung sampai sekarang masih kontroversial. Kemunculan dan kepergiannya dianggap sangat mengejutkan dan menggemparkan berbagai kalangan dan masyarakat luas, karena ajaran tasawuf wahdatul wujudnya. Pengaruhnya sangat besar ketika ia menyatakan bahwa syariat yang diajarkan pada masanya adalah kulit dan belum sampai kepada hakikat dan menyatakan statement baru bahwa “Tiada yang maujud melainkan hanyalah Dia, tiada aku melainkan Dia, Dialah aku dan aku adalah Dia”. Walaupun tidak meninggalkan karya tulis dan lebih bersifat tokoh lokal, namun ketokohan Abdul Hamid diakui dan ajarannya –yang dikenal dengan istilah Ilmu Sabuku– disampaikan oleh orang-perorang hingga sekarang secara lisan. Siapakah Syekh Abdul Hamid Abulung dan bagaimana paham tasawuf wahdatul wujudnya?
Tulisan-tulisan yang mengungkapkan sejarah hidup dan pemikiran Syekh Abulung sebagai salah seorang icon khazanah intelektual Islam Banjar sangat sedikit, dan bisa dihitung dengan jari. Dibandingkan dengan tulisan-tulisan yang mengupas tentang riwayat hidup, perjuangan, pemikiran dan karya tulis Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, atau pula pula Syekh Muhammad Nafis bin Ideris bin Husien al-Banjari yang meninggalkan karya tulis Ad-Durr al-Nafis dan namanya termaktub dalam salah satu entri di Ensiklopedi Islam Indonesia, sehingga dikenal tidak hanya di Tanah Banjar akan tetapi juga di Asia Tenggara. Lebih-lebih lagi Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari atau Datu Kalampayan, penulis kitab Sabil al-Muhtadin.
Secara khusus, Syekh Abdul Hamid memang tidak meninggalkan karya tulis yang bisa dirujuk untuk mengkaji paham tasawufnya, tahun kelahirannyapun tidak diketahui secara pasti. Karena itulah dan sampai sekarang figur tokoh ini masih menyisakan sejumlah misteri, baik berkenaan dengan riwayat hidup maupun ajaran tasawufnya. Walaupun demikian, dalam salah riwayat misalnya hasil penelitian Sahriansyah dan Syafruddin (2003) berkenaan dengan Studi Naskah Risalah Tasawuf Syekh Abdul Hamid Abulung dikatakan bahwa Abdul Hamid bukanlah asli orang Banjar, tetapi ia berasal dari negeri Yaman dan lahir pada tahun 1148 H/1735 M dan wafat 12 Dzulhijjah 1203/1788M. Sementara, ketika hukuman mati diputuskan pada tanggal 12 Dzulhijjah 1203 H/1788 M atas perintah Sultan Tahmidullah II (1785-1808 M), di Martapura ia telah berusia 55 tahun. Riwayat lain menjelaskan hukuman mati tersebut atas perintah Sultan Adam, karena pada masa inilah syariat Islam dalam bentuk Undang-Undang Sultan Adam atau UUSA diterapkan di seluruh wilayah kerajaan Islam Banjar. Syekh Abulung kemudian dimakamkan di Kampung Abulung Sungai Batang Martapura.
Berdasarkan pendapat ini, maka hitungan usia Syekh Abdul Hamid jelas lebih muda dari usia Syekh Muhammad Arsyad, yang dilahirkan pada tanggal 15 Shafar 1122 H/19 Maret 1710 M, kurang lebih bertaut 25 tahun.
Pendapat lain mengungkapkan bahwa Syekh Abdul Hamid Abulung yang dikenal juga dengan sebutan Syekh Abulung hidup sezaman dengan Datu Kalampayan adalah asli orang Banjar, beliau dilahirkan di Kampung Abulung (Sungai Batang, Martapura), yang bersebelahan dengan Kampung Dalam Pagar, yang dilekatkan dibelakang namanya. Karena sudah menjadikan kebiasaan untuk melekatkan atau menisbatkan nama seorang tokoh dengan nama tempat berasalnya, seperti Abdul Qadir “Jailani”, Imam “Nawawi”, Junaid “al-Baghdadi”, Muhammad Arsyad “al-Banjari”, dan sebagainya. Bahkan diungkapkan pula bahwa Abdul Hamid adalah salah seorang putra Banjar yang diberangkatkan ke Mekkah untuk menuntut ilmu agama oleh Sultan, bersamaan dengan keberangkatan Syekh Muhammad Arsyad. Bedanya ketika di Mekkah Syekh Muhammad Arsyad lebih mendalami ilmu syariat –di samping tasawuf–, sedangkan Abdul Hamid lebih mendalami ilmu hakikat (tasawuf) yang membicarakan tentang masalah ketuhanan, karenanya ketika mereka kembali ke daerah ilmu yang mereka ajarkan kepada masyarakatpun sesuai dengan mengutamakan spesifikasi keahlian masing-masing. Pendapat ini dikaitkan dengan kelahiran Abdul Hamid, lemah argumentasinya. Karena rasanya tidak mungkin, sebab waktu berangkat ke Mekkah umur Syekh Muhammad Arsyad kurang lebih 30 tahun, sementara umur Abdul Hamid waktu itu baru 5 tahun, jika benar Syekh Abulung dilahirkan pada tahun 1735.
Menelisik dari gelar yang dilekatkan padanya, sebagaimana dijelaskan Humaidy (Kandil, 2003), secara kultural sebenarnya mengisyaratkan bahwa Abdul Hamid adalah salah seorang tokoh masyarakat Banjar yang disegani, mempunyai kekuatan magis dan supranatural, dan kedudukan sejajar dengan Kepala Adat (termasuk kepala Suku dan Dukun). Demikian juga dengan predikat Syekh yang melekat pada namanya, menunjukkan status ketinggian ilmu yang dikuasainya, terutama dalam ilmu agama sekaligus pula meliputi ketinggian ibadah dan akhlaknya. Di samping itu, secara umum syekh juga mengisyaratkan bahwa penyandang gelar tersebut pernah menuntut ilmu cukup lama di Haramain atau Mekkah dan Madinah (hal ini sinkron dengan pendapat yang menyatakan bahwa Abdul Hamid juga menuntut ilmu ke Mekkah)) dan mempunyai banyak murid yang tersebar, meskipun Abdul Hamid tidak memiliki semacam lembaga pendidikan. Lebih dari itu, sebutan syekh juga mengimplisitkan bahwa orang tersebut mempunyai posisi sangat penting dalam dunia tasawuf dan tarekat, mungkin sebagai khalifah, mursyid, murabbi atau badal.
Sementara, membaca riwayat hidupnya, sejarah hidup Abdul Hamid mirip dengan versi cerita Syekh Siti Jenar, yang ajarannya juga dianggap meresahkan masyarakat, sehingga harus dilenyapkan. Pihak kerajaan Banjar sesudah mendengar berbagai laporan tentang ajaran Syekh Abdul Hamid yang meresahkan, sehingga perlu untuk memanggil dan menguji kebenaran ilmu yang diyakininya. Panggilan yang disampaikan kepadanya dijawab persis seperti jawaban yang dikemukakan oleh Syekh Siti Jenar. Namun pada akhirnya Abdul Hamid mau menghadap sultan, yang pada akhirnya oleh pihak kerajaan ia divonis hukuman dimasukan dalam kerangkeng besi dan ditenggelamkan ke sungai, namun ia tidak mati bahkan menurut cerita selama dalam kurungannya tersebut ia sempat memberikan pelajaran kepada sepuluh orang yang dikenal sebagai orang sepuluh. Kematian Abdul Hamid menurut versi yang beredar adalah dipenggal leher oleh senjatanya sendiri sebagaimana wasiat yang disampaikannya pada Sultan Banjar, dan pada cucuran darahnya kemudian membentuk tulisan kalimat tauhid laa ilaha illallah.
Menurut Ahmad Basuni (1986:49-51) keputusan menghukum mati Abdul Hamid Abulung tersebut didasarkankan fatwa Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang mengatakan bahwa ajaran tasawuf yang diajarkan Syekh Abdul Hamid Abulung kepada orang awam dapat menyesatkan akidah, membawa kepada syirik dan merusak kehidupan beragama. Namun menurut tulisan dan wawancara penulis dengan Abu Daudi (penulis buku Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari: Tuan Haji Besar), bahwa keputusan hukum bunuh terhadap Syekh Abdul Hamid Abulung bukanlah keputusan atau restu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sebagaimana pendapat dari sebagian orang, sehingga kata mereka lantaran peristiwa hukum bunuh atau mati terhadap diri Syekh Abdul Hamid itu, mengakibatkan terjadinya hubungan yang tidak sehat diantara kedua keluarga tersebut, yang sampai sekarang katanya masih dirasakan oleh zuriat dari kedua belah pihak. Pendapat yang demikian sama sekali tidak benar. Meskipun Sultan melibatkan Syekh Muhammad Arsyad untuk dimintai pendapat, namun Syekh Muhammad Arsyad tetap mengembalikannya kepada Kerajaan dan menasihatkan agar dapat diselesaikan secara seksama dan bijaksana.
Hal menarik dikaji, pungkala umum yang menjadi sebab dihukum bunuhnya Abdul Hamid menurut tesis umum yang dipegang adalah karena ajaran Ilmu Sebuku atau paham tasawuf Wahdatul Wujud yang diajarkan oleh Abdul Hamid, benarkah demikian? Untuk menjelaskan hal ini, menarik kupasan yang dikemukakan oleh Humaidy (Kandil 2003) bahwa tasawuf Abdul Hamid bukan wahdatul wujud yang ekstrim sebagaimana yang dianut oleh Abu Yazid Bustami, Ibnu Arabi, ataupun Husien Manshur Al-Hallaj. Menurut Humaidy, ajaran tasawuf Abdul Hamid tidak bisa dimasukan dalam aliran ittihad, karena ia masih dalam tingkat fana wal baqa, itulah sebabnya ia hanya menyatakan: “Tiada yang maujud melainkan hanyalah Dia, tiada aku melainkan Dia, Dialah aku dan aku adalah Dia”, sementara ittihad Abu Yazid menyatakan “Aku adalah Engkau dan Engkau adalah Aku” Atau pula jika dibandingkan dengan paham hulul-nya Al-Hallaj, karena Abdul Hamid telah melenyapkan diri dan menyatakan yang ada hanya wujud Tuhannya, sementara Al-Hallaj menyatakan bahwa dirinya telah melebur ke dalam diri Tuhannya. Begitu pula dengan tasawuf Ibnu Arabi yang sudah memakai kata “Engkau” untuk menunjukkan kedekatan dirinya, sedangkan Abdul Hamid masih memakai kata “Dia”
Lalu jika tidak paham tasawuf yang dianutnya yang menjadi penyebabnya sebagaimana yang terjadi pada diri Hamzah Fansuri dan pengikutnya, Siti Jenar dan murid-muridnya, kira-kira apalagi? Apakah karena intrik dan manipulasi politik ataukah sejarah? Perlu penelitian dan penelusuran kembali jejak-jejak khazanah sejarah Banjar silam guna mengungkapkan fakta kebenaran, untuk menjadi bahan renungan dan pelajaran generasi sekarang, menapak masa depan yang lebih cemerlang.
Sumber disini

KH. M. ARWNI AMIN /MBAH ARWANI


Sosok Alim, Santun dan Lembut
Yanbu’ul Qur’an Adalah pondok huffadz terbesar yang ada di Kudus. Santrinya tak hanya dari kota Kudus. Tetapi dari berbagai kota di Nusantara. Bahkan, pernah ada beberapa santri yang datang dari luar negeri seperti Malaysia dan Brunei Darussalam.Pondok tersebut adalah pondok peninggalan KH. M. Arwani Amin. Salah satu Kyai Kudus yang sangat dihormati karena kealimannya, sifatnya yang santun dan lemah lembut.KH. M. Arwani Amin dilahirkan dari pasangan H. Amin Sa’id dan Hj. Wanifah pada Selasa Kliwon, 5 Rajab 1323 H., bertepatan dengan 5 September 1905 M di Desa Madureksan Kerjasan, sebelah selatan masjid Menara Kudus.Nama asli beliau sebenarnya Arwan. Tambahan “I” di belakang namanya menjadi “Arwani” itu baru dipergunakan sejak kepulangannya dari Haji yang pertama pada 1927. Sementara Amin bukanlah nama gelar yang berarti “orang yang bisa dipercaya”. Tetapi nama depan Ayahnya; Amin Sa’id.
KH. Arwani Amin adalah putera kedua dari 12 bersaudara. Saudara-saudara beliau secara berurutan adalah Muzainah, Arwani Amin, Farkhan, Sholikhah, H. Abdul Muqsith, Khafidz, Ahmad Da’in, Ahmad Malikh, I’anah, Ni’mah, Muflikhah dan Ulya.Dari sekian saudara Mbah Arwani (demikian panggilan akrab KH. M. Arwani Amin), yang dikenal sama-sama menekuni al-Qur’an adalah Farkhan dan Ahmad Da’in.Ahmad Da’in, adiknya Mbah Arwani ini bahkan terkenal jenius. Karena beliau sudah hafal al-Qur’an terlebih dahulu daripada Mbah Arwani. Yakni pada umur 9 tahun. Ia bahkan hafal Hadits Bukhori Muslim dan menguasai Bahasa Arab dan Inggris. Kecerdasan dan kejeniusan Da’in inilah yang menggugah Mbah Arwani dan adiknya Farkhan, terpacu lebih tekun belajar.Konon, menurut KH. Sya’roni Ahmadi, kelebihan Mbah Arwani dan saudara-saudaranya adalah berkat orangtuanya yang senang membaca al-Qur’an. Di mana orangtuanya selalu menghatamkan membaca al-Qur’an meski tidak hafal. Selain barokah orantuanya yang cinta kepada al-Qur’an, KH. Arwani Amin sendiri adalah sosok yang sangat haus akan ilmu. Ini dibuktikan dengan perjalanan panjang beliau berkelana ke berbagai daerah untuk mondok, berguru pada ulama-ulama. Tak kurang, 39 tahun beliau habiskan untuk berkelana mencari ilmu. Diantara pondok pesantren yang pernah disinggahinya menuntut ilmu adalaj pondok Jamsaren (Solo) yang diasuh oleh Kyai Idris, Pondok Tebu Ireng yang diasuh oleh KH. Hasyim Asy’ari dan Pondok Munawir (Krapak) yang diasuh oleh Kyai Munawir.Selama menjadi santri, Mbah Arwani selalu disenangi para Kyai dan teman-temannya karena kecerdasan dan kesopanannya. Bahkan, karena kesopanan dan kecerdasannya itu, KH. Hasyim Asy’ari sempat menawarinya akan dijadikan menantu. Namun, Mbah Arwani memohon izin kepada KH. Hasyim Asy’ari bermusyawarah dengan orang tuanya. Dan dengan sangat menyesal, orang tuanya tidak bisa menerima tawaran KH. Hasyim Asy’ari, karena kakek Mbah Arwani (KH. Haramain) pernah berpesan agar ayahnya berbesanan dengan orang di sekitar Kudus saja.Akhirnya, Mbah Arwani menikah dengan Ibu Nyai Naqiyul Khud pada 1935. Bu Naqi adalah puteri dari KH. Abdullah Sajad, yang sebenarnya masih ada hubungan keluarga dengan Mbah Arwani sendiri. Dari pernikahannya dengan Bu Naqi ini, Mbah Arwani diberi empat keturunan. Namun yang masih sampai sekarang tinggal dua, yaitu KH. M. Ulinnuha dan KH. M. Ulil Albab, yang meneruskan perjuangan Mbah Arwani mengasuh pondok Yanbu’ sampai sekarang. Yah, demikian besar jasa Mbah Arwani terhadap Ummat Islam di Indonesia terutama masyarakat Kudus, dengan kiprahnya mendirikan pondok yang namanya dikenal luas hingga sekarang.Banyak Kyai telah lahir dari pondok yang dirintisnya tersebut. KH. Sya’roni Ahmadi, KH. Hisyam, KH. Abdullah Salam (Kajen), KH. Muhammad Manshur, KH. Muharror Ali (Blora), KH. Najib Abdul Qodir (Jogja), KH. Nawawi (Bantul), KH. Marwan (Mranggen), KH. Ah. Hafidz (Mojokerto), KH. Abdullah Umar (Semarang), KH. Hasan Mangli (Magelang), adalah sedikit nama dari ribuan Kyai yang pernah belajar di pondok beliau. Kini, Mbah Arwani Amin telah tiada. Beliau meninggal dunia pada 1 Oktober 1994 M. bertepatan dengan 25 Rabi’ul Akhir 1415 H. Beliau meninggal dalam usia 92 tahun. Namun, meski beliau telah meninggal dunia, namanya tetap harum di hati sanubari masyarakat. Pondok Yanbu’ul Qur’an, Madrasah TBS, Kitab Faidlul Barakat dan berbagai kitab lain yang sempat ditashihnya, menjadi saksi perjuangan beliau dalam mengabdikan dirinya terhadap masyarakat, ilmu dan Islam
Sumber disini

GUS MIEK/ KH.CHAMIM DJAZULI (3)



Nama lengkap beliau adalah KH. Chamim Jazuli lahir dari seorang ulama besar di daerah ploso, mojo, kediri jawa timur. beliau adalah pendiri sema’an alquran dan jamaah dzikrul ghofilin.. sejak kecil gus miek panggilan akrab beliau sudah memiliki keanehan-keanehan. beliau sering pergi dari rumah sampai Kyai Jazuli ayah beliau menganggap putranya hilang. Pada waktu di pesantren ayahnya gus miek jarang sekali mengikuti pengajian di madrasah tetapi anehnya itu semua tidak membuat gus miek ketinggalan pemahaman tentang agama (kitab kuning) dengan santri-santri ayah beliau. ketika diuji kemampuan gus miek dalam memahami agama malahan jauh melebihi santri-santri ayahnya yang setiap hari masuk dan mengaji di madrasah. beliau kemudian berguru pada Kyai Dalhar watucongol, Kyai Hamid Pasuruan, dll semua guru dari gus miek tersebut telah dikenal oleh masyarakat sebagai tokoh agama yang paling berpengaruh di daerahnya.

Pada zaman beliau terdapat suatu ketetapan di organisasi Nahdhatul Ulama (NU) tentang thoriqoh. Organisasi NU menetepkan bahwa thoriqoh yang resmi dan diakui keberadaannya hanyalah thoriqoh yang mu’tabaroh artinya silsilah dari thoriqoh itu jelas sampai ke Nabi Muhammad SAW sedangkan thoriqoh yang tidak mu’tabaroh seperti thoriqohnya sunan kalijogo, syaikh siti jenar itu tidak diakui keberadaannya. Sungguh tindakan yang sangat bijaksana menurut saya karena pada saat itu gus miek tidak memihak salah satu thoriqoh seperti yang dilakukan oleh kebanyakan kyai, tetapi gus miek malahan membuat suatu jama’ah dimana jama’ah tersebut berkumpul melakukan dzikir bersama tanpa harus diembel-embeli thoriqoh mu’tabaroh atau ghoiru mu’tabaroh yang diberi nama jama’ah dzikrul ghofilin. ini merupakan suatu solusi yang bijaksana dimana beliau mampu mengakomodir segala kepentingan. setiap orang bisa masuk ke jama’ah yang beliau dirikan baik dari kelompok mu’tabaroh atau ghiru mu’tabaroh bahkan orang bukan thoriqohpun bisa masuk pokonya syarat utama untuk masuk jama’ah dzikrul ghofilin adalah islam.

gus miek selain dikenal sebagai seorang ulama besar juga dikenal sebagai orang yang nyeleneh beliau lebih menyukai da’wah di kerumunan orang yang melakukan maksiat dibandingkan dengan menjadi seorang kyai yang tinggal di pesantren yang mengajarkan santrinya kitab kuning. hampir tiap malam beliau menyusuri jalan-jalan di jawa timur keluar masuk club malam, bahkan nimbrung dengan tukang becak, penjual kopi di pinggiran jalan hanya untuk memberikan sedikit pencerahan kepada mereka yang sedang dalam kegelapan. Ajaran-ajaran beliau yang terkenal adalah suluk jalan terabas atau dalam bahasa indonesianya pemikiran jalan pintas.Gus Miek salah-satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan pejuang Islam yang masyhur di tanah Jawa dan memiliki ikatan darah kuat dengan berbagai tokoh Islam ternama, khususnya di Jawa Timur. Maka wajar, jika Gus Miek dikatakan pejuang agama yang tangguh dan memiliki kemampuan yang terkadang sulit dijangkau akal. Selain menjadi pejuang Islam yang gigih, dan pengikut hukum agama yang setia dan patuh, Gus Miek memiliki spritualitas atau derajat kerohanian yang memperkaya sikap, taat, dan patuh terhadap Tuhan. Namun, Gus Miek tidak melupakan kepentingan manusia atau intraksi sosial (hablum minallah wa hablum minannas). Hal itu dilakukan karena Gus Miek mempunyai hubungan dan pergaulan yang erat dengan (alm) KH. Hamid Pasuruan, dan KH. Achmad Siddiq, serta melalui keterikatannya pada ritual ”dzikrul ghafilin” (pengingat mereka yang lupa). Gerakan-gerakan spritual Gus Miek inilah, telah menjadi budaya di kalangan Nahdliyin (sebutan untuk warga NU), seperti melakukan ziarah ke makam-makam para wali yang ada di Jawa maupun di luar Jawa.Hal terpenting lain untuk diketahui juga bahwa amalan Gus Miek sangatlah sederhana dalam praktiknya. Juga sangat sederhana dalam menjanjikan apa yang hendak didapat oleh para pengamalnya, yakni berkumpul dengan para wali dan orang-orang saleh, baik di dunia maupun akhirat.

GUS MIEK PUTRA KH.ACHMAD DJAZULI USTMAN


Gus Miek seorang hafizh (penghapal) Al-Quran. Karena, bagi Gus Miek, Al-Quran adalah tempat mengadukan segala permasalahan hidupnya yang tidak bisa dimengerti orang lain. Dengan mendengarkan dan membaca Al-Quran, Gus Miek merasakan ketenangan dan tampak dirinya berdialog dengan Tuhan ,beliaupun membentuk sema’an alquran dan jama’ah Dzikrul Ghofilin.

gus miek selain dikenal sebagai seorang ulama besar juga dikenal sebagai orang yang nyeleneh beliau lebih menyukai da’wah di kerumunan orang yang melakukan maksiat seperti discotiq ,club malam dibandingkan dengan menjadi seorang kyai yang tinggal di pesantren yang mengajarkan santrinya kitab kuning. hampir tiap malam beliau menyusuri jalan-jalan di jawa timur keluar masuk club malam, bahkan nimbrung dengan tukang becak, penjual kopi di pinggiran jalan hanya untuk memberikan sedikit pencerahan kepada mereka yang sedang dalam kegelapan. Ajaran-ajaran beliau yang terkenal adalah suluk jalan terabas atau dalam bahasa indonesianya pemikiran jalan pintas.

Pernah di ceritakan Suatu ketika Gus Miek pergi ke discotiq dan disana bertemu dengan Pengunjung yang sedang asyik menenggak minuman keras, Gus Miek menghampiri mereka dan mengambil sebotol minuman keras lalu memasukkannya ke mulut Gus Miek salah satu dari mereka mengenali Gus Miek dan bertanya kepada Gus Miek.” Gus kenapa sampeyan ikut Minum bersama kami ? sampeyankan tahu ini minuman keras yang diharamkan oleh Agama ? lalu Gus Miek Menjawab “aku tidak meminumnya …..!! aku hanya membuang minuman itu kelaut…!hal ini membuat mereka bertanya-tanya, padahal sudah jelas tadi Gus Miek meminum minuman keras tersebut. Diliputi rasa keanehan ,Gus miek angkat bicara “sampeyan semua ga percaya kalo aku tidak meminumnya tapi membuangnya kelaut..? lalu Gus Miek Membuka lebar Mulutnya dan mereka semua terperanjat kaget didalam Mulut Gus miek terlihat Laut yang bergelombang dan ternyata benar minuman keras tersebut dibuang kelaut. Dan Saat itu juga mereka diberi Hidayah Oleh Alloh SWt untuk bertaubat dan meninggalkan minum-minuman keras yang dilarang oleh agama. Itulah salah salah satu Karomah kewaliyan yang diberikan Alloh kepada Gus Miek.

jika sedang jalan-jalan atau keluar, Gus Miek sering kali mengenakan celana jeans dan kaos oblong. Tidak lupa, beliau selalu mengenakan kaca mata hitam lantaran lantaran beliau sering menangis jika melihat seseorang yang “masa depannya” suram dan tak beruntung di akherat kelak.

Ketika beliau berda’wak di semarang tepatnya di NIAC di pelabuhan tanjung mas.Niac adalah surga perjudian bagi para cukong-cukong besar baik dari pribumi maupun keturunan ,Gus Miek yang masuk dengan segala kelebihannya mampu memenangi setiap permainan, sehingga para cukong-cukong itu mengalami kekalahan yang sangat besar. Niac pun yang semula menjadi surga perjudian menjadi neraka yang sangat menakutkan

Satu contoh lagi ketika Gus miek berjalan-jalan ke Surabaya, ketika tiba di sebuah club malam Gus miek masuk kedalam club yang di penuhi dengan perempuan-perempuan nakal, lalu gus miek langsung menuju watries (pelayan minuman) beliau menepuk pundak perempuan tersebut sambil meniupkan asap rokok tepat di wajahnya, perempuan itupun mundur tapi terus di kejar oleh Gus miek sambil tetap meniupkan asap rokok diwajah perempuan tersebut. Perempuan tersebut mundur hingga terbaring di kamar dengan penuh ketakutan, setelah kejadian tersebut perempuan itu tidak tampak lagi di club malam itu.

Pernah suatu ketika Gus Farid (anak KH.Ahamad Siddiq yang sering menemani Gus Miek) mengajukan pertanyaan yang sering mengganjal di hatinya, pertama bagaimana perasaan Gus Miek tentang Wanita ? “Aku setiap kali bertemu wanita walaupun secantik apapun dia dalam pandangan mataku yang terlihat hanya darah dan tulang saja jadi jalan untuk syahwat tidak ada”jawab Gus miek.

Pertanyaan kedua Gus Farid menayakan tentang kebiasaan Gus Miek memakai kaca mata hitam baik itu dijalan maupun saat bertemu dengan tamu…”Apabila aku bertemu orang dijalan atau tamu aku diberi pengetahuaan tentang perjalanan hidupnya sampai mati. Apabila aku bertemu dengan seseorang yang nasibnya buruk maka aku menangis, maka aku memakai kaca mata hitam agar orang tidak tahu bahwa aku sedang menagis “jawab Gus miek

Adanya sistem Da’wak yang dilakukan Gus miek tidak bisa di contoh begitu saja karena resikonya sangat berat bagi mereka yang Alim pun Sekaliber KH.Abdul Hamid (pasuruan) mengaku tidak sanggup melakukan da’wak seperti yang dilakukan oleh Gus Miek padahal Kh.Abdul Hamid juga seorang waliyalloh.

Tepat tanggal 5 juni 1993 Gus Miek menghembuskan napasnya yang terakhir di rumah sakit Budi mulya Surabaya (sekarang siloam). Kyai yang nyeleneh dan unik akhirnya meninggalkan dunia dan menuju kehidupan yang lebih abadi dan bertemu dengan Tuhannya yang selama ini beliau rindukan.

Sumber disini

SYEKH ABDUL MALIK/ MBAH MALIK

Beliau adalah sosok ulama yang cukup di segani di kebumen propinsi jawa tengah,
Syaikh Abdul Malik semasa hidupnya memegang dua thariqah besar (sebagai mursyid) yaitu: Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah dan Thariqah Asy-Syadziliyah. Sanad thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah telah ia peroleh secara langsung dari ayah beliau yakni Syaikh Muhammad Ilyas, sedangkan sanad Thariqah Asy-Sadziliyah diperolehnya dari As-Sayyid Ahmad An-Nahrawi Al-Makki (Mekkah).

Dalam hidupnya, Syaikh Abdul Malik memiliki dua amalan wirid utama dan sangat besar, yaitu membaca Al-Qur’an dan Shalawat. Beliau tak kurang membaca shalwat sebanyak 16.000 kali dalam setiap harinya dan sekali menghatamkan Al-Qur’an. Adapun shalawat yang diamalkan adalah shalawat Nabi Khidir AS atau lebih sering disebut shalawat rahmat, yakni “Shallallah ‘ala Muhammad.” Dan itu adalah shalawat yang sering beliau ijazahkan kepada para tamu dan murid beliau. Adapun shalawat-shalawat yang lain, seperti shalawat Al-Fatih, Al-Anwar dan lain-lain.

Beliau juga dikenal sebagai ulama yang mempunyai kepribadian yang sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan ketinggian dari akhlaq yang melekat pada diri beliau. Sehingga amat wajarlah bila masyarakat Banyumas dan sekitarnya sangat mencintai dan menghormatinya.

Beliau disamping dikenal memiliki hubungan yang baik dengan para ulama besar umumnya, Syaikh Abdul Malik mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ulama dan habaib yang dianggap oleh banyak orang telah mencapai derajat waliyullah, seperti Habib Soleh bin Muhsin Al-Hamid (Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bilfaqih (Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi Al-Hamid (Brani, Probolinggo), KH Hasan Mangli (Magelang), Habib Hamid bin Yahya (Sokaraja, Banyumas) dan lain-lain.

Diceritakan, saat Habib Soleh Tanggul pergi ke Pekalongan untuk menghadiri sebuah haul. Selesai acara haul, Habib Soleh berkata kepada para jamaah,”Apakah kalian tahu, siapakah gerangan orang yang akan datang kemari? Dia adalah salah seorang pembesar kaum ‘arifin di tanah Jawa.” Tidak lama kemudian datanglah Syaik Abdul Malik dan jamaah pun terkejut melihatnya.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Habib Husein bin Hadi Al-Hamid (Brani, Kraksaan, Probolinggo) bahwa ketika Syaikh Abdul Malik berkunjung ke rumahnya bersama rombongan, Habib Husein berkata, ”Aku harus di pintu karena aku mau menyambut salah satu pembesar Wali Allah.”

Asy-Syaikh Abdul Malik lahir di Kedung Paruk, Purwokerto, pada hari Jum’at 3 Rajab 1294 H (1881). Nama kecilnya adalah Muhammad Ash’ad sedang nama Abdul Malik diperoleh dari ayahnya, KH Muhammad Ilyas ketika ia menunaikan ibadah haji bersamanya. Sejak kecil Asy-Syaikh Abdul Malik telah memperoleh pengasuhan dan pendidikan secara langsung dari kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya yang ada di Sokaraja, Banyumas terutama dengan KH Muhammad Affandi.

Setelah belajar Al-Qur’an dengan ayahnya, Asy-Syaikh kemudian mendalami kembali Al-Qur’an kepada KH Abu Bakar bin H Yahya Ngasinan (Kebasen, Banyumas). Pada tahun 1312 H, ketika Syaikh Abdul Malik sudah menginjak usia dewasa, oleh sang ayah, ia dikirim ke Mekkah untuk menimba ilmu agama. Di sana ia mempelajari berbagai disiplin ilmu agama diantaranya ilmu Al-Qur’an, tafsir, Ulumul Qur’an, Hadits, Fiqh, Tasawuf dan lain-lain. Asy-Syaikh belajar di Tanah suci dalam waktu yang cukup lama, kurang lebih selama limabelas tahun.

Dalam ilmu Al-Qur’an, khususnya ilmu Tafsir dan Ulumul Qur’an, ia berguru kepada Sayid Umar Asy-Syatha’ dan Sayid Muhammad Syatha’ (putra penulis kitab I’anatuth Thalibin hasyiyah Fathul Mu’in). Dalam ilmu hadits, ia berguru Sayid Tha bin Yahya Al-Magribi (ulama Hadramaut yang tinggal di Mekkah), Sayid Alwi bin Shalih bin Aqil bin Yahya, Sayid Muhsin Al-Musawwa, Asy-Syaikh Muhammad Mahfudz bin Abdullah At-Tirmisi. Dalam bidang ilmu syariah dan thariqah alawiyah ia berguru pada Habib Ahmad Fad’aq, Habib Aththas Abu Bakar Al-Attas, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya), Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas (Bogor), Kyai Soleh Darat (Semarang).

Sementara itu, guru-gurunya di Madinah adalah Sayid Ahmad bin Muhammad Amin Ridwan, Sayid Abbas bin Muhammad Amin Raidwan, Sayid Abbas Al Maliki Al-Hasani (kakek Sayid Muhammad bin Alwi Al Maliki Al-Hasani), Sayid Ahmad An-Nahrawi Al Makki, Sayid Ali Ridha.

Setelah sekian tahun menimba ilmu di Tanah Suci, sekitar tahun 1327 H, Asy-Syaikh Abdul Malik pulang ke kampung halaman untuk berkhidmat kepada keduaorang tuanya yang saat itu sudah sepuh (berusia lanjut). Kemudian pada tahun 1333 H, sang ayah, Asy Syaikh Muhammad Ilyas berpulang ke Rahmatullah.

Sesudah sang ayah wafat, Asy-Syaikh Abdul Malik kemudian mengembara ke berbagai daerah di Pulau Jawa guna menambah wawasan dan pengetahuan dengan berjalan kaki. Ia pulang ke rumah tepat pada hari ke- 100 dari hari wafat sang ayah, dan saat itu umur Asy Syaikh berusia tiga puluh tahun.

Sepulang dari pengembaraan, Asy-Syaikh tidak tinggal lagi di Sokaraja, tetapi menetap di Kedung Paruk bersama ibundanya, Nyai Zainab. Perlu diketahui, Asy-Syaikh Abdul Malik sering sekali membawa jemaah haji Indonesia asal Banyumas dengan menjadi pembimbing dan syaikh. Mereka bekerjasama dengan Asy-Syaikh Mathar Mekkah, dan aktivitas itu dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama.

Sehingga wajarlah kalau selama menetap di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu-ilmu agama dengan para ulama dan syaikh yang ada di sana. Berkat keluasan dan kedalaman ilmunya, Syaikh Abdul Malik pernah memperoleh dua anugrah yakni pernah diangkat menjadi Wakil Mufti Madzab Syafi’i di Mekkah dan juga diberi kesempatan untuk mengajar. Pemerintah Saudi sendiri sempat memberikan hadiah berupa sebuah rumah tinggal yang terletak di sekitar Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes. Anugrah yang sangat agung ini diberikan oleh Pemerintah Saudi hanya kepada para ulama yang telah memperoleh gelar Al-‘Allamah.

Syaikh Ma’shum (Lasem, Rembang) setiap berkunjung ke Purwokerto, seringkali menyempatkan diri singgah di rumah Asy-Syaikh Abdul Malik dan mengaji kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibnu Malik secara tabarrukan (meminta barakah) kepada Asy-Syaikh Abdul Malik. Demikian pula dengan Mbah Dimyathi (Comal, Pemalang), KH Khalil (Sirampog, Brebes), KH Anshori (Linggapura, Brebes), KH Nuh (Pageraji, Banyumas) yang merupakan kiai-kiai yang hafal Al-Qur’an, mereka kerap sekali belajar ilmu Al-Qur’an kepada Syaikh Abdul Malik.

Kehidupan Syaikh Abdul Malik sangat sederhana, di samping itu ia juga sangat santun dan ramah kepada siapa saja. Beliau juga gemar sekali melakukan silaturrahiem kepada murid-muridnya yang miskin. Baik mereka yang tinggal di Kedung Paruk maupun di desa-desa sekitarnya seperti Ledug, Pliken, Sokaraja, dukuhwaluh, Bojong dan lain-lain.

Hampir setiap hari Selasa pagi, dengan kendaraan sepeda, naik becak atau dokar, Syaikh Abdul Malik mengunjungi murid-muridnya untuk membagi-bagikan beras, uang dan terkadang pakaian sambil mengingatkan kepada mereka untuk datang pada acara pengajian Selasanan (Forum silaturrahiem para pengikut Thariqah An-Naqsyabandiyah Al-Khalidiyah Kedung paruk yang diadakan setiap hari Selasa dan diisi dengan pengajian dan tawajjuhan).

Murid-murid dari Syaikh Abdul Malik diantaranya KH Abdul Qadir, Kiai Sa’id, KH Muhammad Ilyas Noor (mursyid Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah sekarang), KH Sahlan (Pekalongan), Drs Ali Abu Bakar Bashalah (Yogyakarta), KH Hisyam Zaini (Jakarta), Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya (Pekalongan), KH Ma’shum (Purwokerto) dan lain-lain.

Sebagaimana diungkapkan oleh murid beliau, yakni Habib Luthfi bin Yahya, Syaikh Abdul Malik tidak pernah menulis satu karya pun. “Karya-karya Al-Alamah Syaikh Abdul Malik adalah karya-karya yang dapat berjalan, yakni murid-murid beliau, baik dari kalangan kyai, ulama maupun shalihin.”

Diantara warisan beliau yang sampai sekarang masih menjadi amalan yang dibaca bagi para pengikut thariqah adalah buku kumpulan shalawat yang beliau himpun sendiri, yaitu Al-Miftah al-Maqashid li-ahli at-Tauhid fi ash-Shalah ‘ala babillah al-Hamid al-majid Sayyidina Muhammad al-Fatih li-jami’i asy-Syada’id.”

Shalawat ini diperolehnya di Madinah dari Sayyid Ahmad bin Muhammad Ridhwani Al-Madani. Konon, shalawat ini memiliki manfaat yang sangat banyak, diantaranya bila dibaca, maka pahalanya sama seperti membaca kitab Dala’ilu al-Khairat sebanyak seratus sepuluh kali, dapat digunakan untuk menolak bencana dan dijauhkan dari siksa neraka.

Syaikh Abdul Malik wafat pada hari Kamis, 2 Jumadil Akhir 1400 H (17 April 1980) dan dimakamkan keesokan harinya lepas shalat Ashar di belakang masjid Baha’ul Haq wa Dhiya’uddin, Kedung Paruk Purwokerto.

BIOGRAFI MBAH MALIK
Sumber disini

SYEKH KHATIB SAMBAS

Khatib Sambas dilahirkan di Sambas, Kalimantan Barat, Beliau memutuskan untuk pergi menetap di Makkah pada permulaan abad ke-19, sampai beliau wafat pada tahun 1875. Diantara guru beliau adalah; Syaikh Daud ibn Abdullah al-Fatani, seorang syekh terkenal yang berdomisili di Makkah, Syaikh Muhammad Arshad al-Banjari, dan Syekh Abd al-Samad al-Palimbani. Menurut Naquib al-Attas, Khatib Sambas adalah Syaikh Qadiriyyah dan Naqshabandiyyah. Hurgronje menyebutkan bahwa Beliau adalah salah satu guru dari Syaikh Nawawi al-Bantani, yang mahir dalam berbagai disiplin ilmu Islam.

Zamakhsari Dhafir menyatakan bahwa peranan penting Syaikh Sambas adalah melahirkan syaikh-syaikh Jawa ternama dan menyebarkan ajaran Islam di Indonesia dan Malaysia pada pertengahan abad ke-19.

Kunci kesuksesan Syaikh Sambas ini adalah bahwa beliau bekerja sebagai fath al-Arifin, dengan mempraktekkan ajaran sufi di Malaysia yaitu dengan bay'a, zikir, muraqabah, silsilah, yang dikemas dalam Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah.

Gambaran Disiplin Ilmu Syaikh Sambas

Masyarakat Jawa dan Madura, mengetahui disiplin ilmu Syaikh Sambas melalui ajaran-ajarannya setelah beliau kembali dari Makkah. Dikatakan bahwa Syaikh Sambas merupakan Ulama yang sangat berpengaruh, dan juga banyak melahirkan ulama-ulama terkemuka dalam bidang fiqh dan tafsir, diantaranya Syaikh Abd al-Karim Banten. Abd al-Karim terkenal sebagai Sulthan al-Syaikh, beliau menentang keras imperialisme Belanda pada tahun 1888 dan kemudian meninggalkan Banten menuju Makkah untuk menggantikan Syaikh Sambas.

Sebagian besar penulis Eropa membuat catatan salah, mereka menyatakan bahwa sebagian besar Ulama Indonesia bermusuhan dengan pengikut Sufi. Hal terpenting yang perlu ditekankan adalah bahwa Syaikh Sambas adalah sebagai seorang Ulama, dimana tuduhan penulis Eopa tersebut tidak tepat ditujukan kepada beliau. Syaikh Sambas dalam mengajarkan disiplin ilmu Islam bekerja sama dengan syaikh-syaikh besar lainnya yang bukan pengikut thariqat seperti Syaikh Tolhah dari Cirebon, dan Syaikh Ahmad Hasbullah ibn Muhammad dari Madura, dimana mereka berdua pernah menetap di Makkah.

Thariqat Qadiriyyah wa Naqsabhandiyyah menarik perhatian sebagian masyarakat muslim Indonesia, khususnya di wilayah Madura, Banten, dan Cirebon, dan pada akhir abad ke-19 Thariqat ini menjadi sangat terkenal. Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah tersebar luas melalui Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalaam.

Periode Setelah Syaikh Sambas

Pada tahun 1970, ada 4 tempat penting sebagai pusat Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah di pulau Jawa yaitu: Rejoso (Jombang) di bawah bimbingan Syaikh Romli Tamim, Mranggen (Semarang) di bawah bimbingan Syaikh Muslih, Suryalaya (Tasikmalaya) di bawah bimbingan Syaikh Ahmad Sahih al-Wafa Tajul Arifin (Mbah Anom), dan Pagentongan (Bogor) di bawah bimbingan Syaikh Thohir Falak. Rejoso mewakili garis aliran Ahmad Hasbullah, Suryalaya mewakili garis aliran Syaikh Tolhah dan yang lainnya mewakili garis aliran Syaikh Abd al-Karim Banten dan penggantinya.

Pada prakteknya, ajaran Thariqat disampaikan melalui ceramah umum di masjid atau majelis ta'lim di rumah salah satu anggota Thariqat. Sehingga tidak mengagetkan jika selama masa ceramah umum, tidak ada materi yang terekam dengan cermat. Bagaimanapun juga, di bawah bimbingan Mbah Anom, mempunyai kontribusi yang besar, dimana ajaran thariqat dibukukan dalam sebuah kitab berjudul Miftah ash-Shudur. Tujuan dari kitab ini adalah untuk mengajarkan teori dan praktek Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah sebagai usaha mencapai kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Hasil usahanya yang lain terkemas dalam kitab Uqud al-Juman, al-Akhlaq al-Karimah, dan buku Ibadah sebagai Metode Pembinaan Korban Penyalahgunaan Narkotika dan Kenakalan Remaja.

Peranan Thariqat dalam Reformasi Sosial

Maulana Syaikh Muhammad Nazim Adil telah menjelaskan bahwa setelah terorisme, permasalahan terbesar umat manusia kedua adalah penyalahgunaan narkotika oleh generasi muda (The Muslim Magezine, Spring 1999). Permasalahan sosial ini bukan hanya dialami oleh bangsa Barat, tetapi juga menimpa kalangan generasi muda seluruh dunia. Walaupun jumlah korban narkoba di negara-negara Asia tidak sebesar di Barat, tetapi permasalahan ini menarik perhatian yang sangat serius bagi Mbah Anom untuk mendirikan Pondok Inabah, pusat rehabilitasi korban narkoba dengan dzikir sebagai obatnya. Metodologi Mbah Anom didasarkan pada hasil pengalaman spiritual beliau sebagai seorang sufi dan kepercayaannya bahwa dzikrullah mengandung pencahayaan/penerangan, karakter khusus dan rahasia yang dapat mengobati muslim yang mempercayainya. Hal ini didasarkan pada firman Allah: "Ingatlah pada-Ku, maka Aku akan mengingatmu". Jasa dan keuntungan dari dzikir di Pondok Pesantren Suryalaya dapat dirasakan oleh sebagian masyarakat yang telah pergi berobat ke sana.

Penelitian terhadap metodologi Mbah Anom pernah dilakukan oleh DR. Emo Kastomo pada tahun 1989. Dia melakukan evaluasi secara random terhadap 5.929 orang pasien di 10 Pondok Inabah. Dan hasilnya, 5.426 orang sembuh, 212 orang dalam proses menuju sembuh, dan 7 orang pasien meninggal dunia.

Peranan Thariqat dalam Politik

Ada tiga keikutsertaan pengikut Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah dalam usaha mancapai Indonesia merdeka, yaitu:

Pertama, keikutsertaan para syaikh dan haji di Banten pada revolusi Juli 1888. Dilaporkan bahwa Syaikh Abd al-Karim Banten tidak tertarik dengan akivitas politik, namun penggantinya Haji Marzuki lebih berpikiran reformis dan sangat anti Belanda. Walaupun Thariqat tidak memimpin dalam revolusi, tetapi Belanda khawatir dengan pengaruhnya, dan sebagian besar diantara mereka meyakini bahwa secara umum pengikut sufi khususnya Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah merupakan organisasi yang mempunyai tujuan untuk mengalahkan kekuatan kolonial.

Kedua, perlawanan yang dilakukan oleh suku Sasak, pengikut Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah Syaikh Guru Bangkol. Belanda mempertimbangkan bahwa Thariqat merupakan faktor terpenting timbulnya pemberontakan-pemberontakan. Walaupun penasehat Pemerintah Belanda Snouck Hurgrounje memberikan masukan bahwa terlalu berlebihan untuk menilai Thariqat sebagai usaha politik untuk melawan Belanda, pendapatnya tersebut tidak dindahkan sampai muncul Syarikat Islam, sebuah organisasi politik yang berdiri pada tahun 1911.

Ketiga, sekarang di Jawa ada tiga cabang terbesar Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah yaitu Rejoso, Mranggen, dan Suryalaya, masing-masing memberikan dukungan terhadap partai-partai politik, dimana beberapa diantara mereka terlibat aktif dalam partai politik.

Gambaran Thariqat di Indonesia Sekarang

Pada tahun 1957, Jam'iyyah Ahl Thariqah Mu'tabarah didirikan oleh Nahdlatul Ulama, yang pada saat itu juga berbentuk partai. Tujuannya adalah untuk menyatukan semua kekuatan Thariqat dan memelihara silsila yang dimulai dari Nabi Muhammad Saw.. Jam'iyyah ini memelihara dan mengajarkan ajaran tasawuf dari 45 kekuatan Thariqat yang pernah ada pada tahun 1975. Syaikh Mustain Romly dari Rejoso diangkat sebagai pimpinan Jam'iyyah ini. Pada tahun 1979, ketika Syaikh Mustain Romli merubah afiliansinya dari Partai Persatuan Pembangunan ke GOLKAR, para Ulama mendirikan Jam'iyyah Ahl al-Thariqah al-Nahdliyyah, Pimpinan Jam'iyyah ini adalah Syaikh Haji DR. Idham Kholid, dimana pada saat itu pernah menyambut kedatangan Syaikh Muhammad Hisham Kabbani pada bulan Desember 1977.

Sumber disini