Minggu, 23 Agustus 2009

SUFI BANJAR SYEKH ABULUNG


Sejarah mencatat, bahwa perkembangan tasawuf di Indonesia –dan juga di Tanah Banjar– tidak hanya didominasi oleh aliran tasawuf akhlaki yang dikenalkan sufi Hasan al-Basri ataupun Junaid al-Baghdadi, tetapi juga aliran tasawuf wahdatul wujud yang dipelopori oleh Abu Yazid al-Bustami (874 M) dengan paham al-Fana al-Baqa dan al-Ittihad, Husien ibnu Mansur al-Hallaj (858-922 M) dengan paham al-Hulul, dan Muhyiddin Ibnu Arabi (1165 M-1240), dengan teori Khalq dan al-Haq.
Pengaruh pemikiran tasawuf wahdatul wujud terlihat dari paham tasawuf yang disampaikan Hamzah Fansuri (dari Aceh), Syekh Syamsuddin as-Sumatrani (Sumatera), Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang dengan konsep Manunggaling Kawula Gusti-nya (Jawa). Sementara, untuk kawasan Kalimantan, khususnya Tanah Banjar tokoh tasawuf yang dianggap wahdatul wujud dan sangat populer adalah Syekh Abdul Hamid Abulung.
Legenda tentang ajaran dan meninggal Syekh Abulung sampai sekarang masih kontroversial. Kemunculan dan kepergiannya dianggap sangat mengejutkan dan menggemparkan berbagai kalangan dan masyarakat luas, karena ajaran tasawuf wahdatul wujudnya. Pengaruhnya sangat besar ketika ia menyatakan bahwa syariat yang diajarkan pada masanya adalah kulit dan belum sampai kepada hakikat dan menyatakan statement baru bahwa “Tiada yang maujud melainkan hanyalah Dia, tiada aku melainkan Dia, Dialah aku dan aku adalah Dia”. Walaupun tidak meninggalkan karya tulis dan lebih bersifat tokoh lokal, namun ketokohan Abdul Hamid diakui dan ajarannya –yang dikenal dengan istilah Ilmu Sabuku– disampaikan oleh orang-perorang hingga sekarang secara lisan. Siapakah Syekh Abdul Hamid Abulung dan bagaimana paham tasawuf wahdatul wujudnya?
Tulisan-tulisan yang mengungkapkan sejarah hidup dan pemikiran Syekh Abulung sebagai salah seorang icon khazanah intelektual Islam Banjar sangat sedikit, dan bisa dihitung dengan jari. Dibandingkan dengan tulisan-tulisan yang mengupas tentang riwayat hidup, perjuangan, pemikiran dan karya tulis Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, atau pula pula Syekh Muhammad Nafis bin Ideris bin Husien al-Banjari yang meninggalkan karya tulis Ad-Durr al-Nafis dan namanya termaktub dalam salah satu entri di Ensiklopedi Islam Indonesia, sehingga dikenal tidak hanya di Tanah Banjar akan tetapi juga di Asia Tenggara. Lebih-lebih lagi Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari atau Datu Kalampayan, penulis kitab Sabil al-Muhtadin.
Secara khusus, Syekh Abdul Hamid memang tidak meninggalkan karya tulis yang bisa dirujuk untuk mengkaji paham tasawufnya, tahun kelahirannyapun tidak diketahui secara pasti. Karena itulah dan sampai sekarang figur tokoh ini masih menyisakan sejumlah misteri, baik berkenaan dengan riwayat hidup maupun ajaran tasawufnya. Walaupun demikian, dalam salah riwayat misalnya hasil penelitian Sahriansyah dan Syafruddin (2003) berkenaan dengan Studi Naskah Risalah Tasawuf Syekh Abdul Hamid Abulung dikatakan bahwa Abdul Hamid bukanlah asli orang Banjar, tetapi ia berasal dari negeri Yaman dan lahir pada tahun 1148 H/1735 M dan wafat 12 Dzulhijjah 1203/1788M. Sementara, ketika hukuman mati diputuskan pada tanggal 12 Dzulhijjah 1203 H/1788 M atas perintah Sultan Tahmidullah II (1785-1808 M), di Martapura ia telah berusia 55 tahun. Riwayat lain menjelaskan hukuman mati tersebut atas perintah Sultan Adam, karena pada masa inilah syariat Islam dalam bentuk Undang-Undang Sultan Adam atau UUSA diterapkan di seluruh wilayah kerajaan Islam Banjar. Syekh Abulung kemudian dimakamkan di Kampung Abulung Sungai Batang Martapura.
Berdasarkan pendapat ini, maka hitungan usia Syekh Abdul Hamid jelas lebih muda dari usia Syekh Muhammad Arsyad, yang dilahirkan pada tanggal 15 Shafar 1122 H/19 Maret 1710 M, kurang lebih bertaut 25 tahun.
Pendapat lain mengungkapkan bahwa Syekh Abdul Hamid Abulung yang dikenal juga dengan sebutan Syekh Abulung hidup sezaman dengan Datu Kalampayan adalah asli orang Banjar, beliau dilahirkan di Kampung Abulung (Sungai Batang, Martapura), yang bersebelahan dengan Kampung Dalam Pagar, yang dilekatkan dibelakang namanya. Karena sudah menjadikan kebiasaan untuk melekatkan atau menisbatkan nama seorang tokoh dengan nama tempat berasalnya, seperti Abdul Qadir “Jailani”, Imam “Nawawi”, Junaid “al-Baghdadi”, Muhammad Arsyad “al-Banjari”, dan sebagainya. Bahkan diungkapkan pula bahwa Abdul Hamid adalah salah seorang putra Banjar yang diberangkatkan ke Mekkah untuk menuntut ilmu agama oleh Sultan, bersamaan dengan keberangkatan Syekh Muhammad Arsyad. Bedanya ketika di Mekkah Syekh Muhammad Arsyad lebih mendalami ilmu syariat –di samping tasawuf–, sedangkan Abdul Hamid lebih mendalami ilmu hakikat (tasawuf) yang membicarakan tentang masalah ketuhanan, karenanya ketika mereka kembali ke daerah ilmu yang mereka ajarkan kepada masyarakatpun sesuai dengan mengutamakan spesifikasi keahlian masing-masing. Pendapat ini dikaitkan dengan kelahiran Abdul Hamid, lemah argumentasinya. Karena rasanya tidak mungkin, sebab waktu berangkat ke Mekkah umur Syekh Muhammad Arsyad kurang lebih 30 tahun, sementara umur Abdul Hamid waktu itu baru 5 tahun, jika benar Syekh Abulung dilahirkan pada tahun 1735.
Menelisik dari gelar yang dilekatkan padanya, sebagaimana dijelaskan Humaidy (Kandil, 2003), secara kultural sebenarnya mengisyaratkan bahwa Abdul Hamid adalah salah seorang tokoh masyarakat Banjar yang disegani, mempunyai kekuatan magis dan supranatural, dan kedudukan sejajar dengan Kepala Adat (termasuk kepala Suku dan Dukun). Demikian juga dengan predikat Syekh yang melekat pada namanya, menunjukkan status ketinggian ilmu yang dikuasainya, terutama dalam ilmu agama sekaligus pula meliputi ketinggian ibadah dan akhlaknya. Di samping itu, secara umum syekh juga mengisyaratkan bahwa penyandang gelar tersebut pernah menuntut ilmu cukup lama di Haramain atau Mekkah dan Madinah (hal ini sinkron dengan pendapat yang menyatakan bahwa Abdul Hamid juga menuntut ilmu ke Mekkah)) dan mempunyai banyak murid yang tersebar, meskipun Abdul Hamid tidak memiliki semacam lembaga pendidikan. Lebih dari itu, sebutan syekh juga mengimplisitkan bahwa orang tersebut mempunyai posisi sangat penting dalam dunia tasawuf dan tarekat, mungkin sebagai khalifah, mursyid, murabbi atau badal.
Sementara, membaca riwayat hidupnya, sejarah hidup Abdul Hamid mirip dengan versi cerita Syekh Siti Jenar, yang ajarannya juga dianggap meresahkan masyarakat, sehingga harus dilenyapkan. Pihak kerajaan Banjar sesudah mendengar berbagai laporan tentang ajaran Syekh Abdul Hamid yang meresahkan, sehingga perlu untuk memanggil dan menguji kebenaran ilmu yang diyakininya. Panggilan yang disampaikan kepadanya dijawab persis seperti jawaban yang dikemukakan oleh Syekh Siti Jenar. Namun pada akhirnya Abdul Hamid mau menghadap sultan, yang pada akhirnya oleh pihak kerajaan ia divonis hukuman dimasukan dalam kerangkeng besi dan ditenggelamkan ke sungai, namun ia tidak mati bahkan menurut cerita selama dalam kurungannya tersebut ia sempat memberikan pelajaran kepada sepuluh orang yang dikenal sebagai orang sepuluh. Kematian Abdul Hamid menurut versi yang beredar adalah dipenggal leher oleh senjatanya sendiri sebagaimana wasiat yang disampaikannya pada Sultan Banjar, dan pada cucuran darahnya kemudian membentuk tulisan kalimat tauhid laa ilaha illallah.
Menurut Ahmad Basuni (1986:49-51) keputusan menghukum mati Abdul Hamid Abulung tersebut didasarkankan fatwa Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang mengatakan bahwa ajaran tasawuf yang diajarkan Syekh Abdul Hamid Abulung kepada orang awam dapat menyesatkan akidah, membawa kepada syirik dan merusak kehidupan beragama. Namun menurut tulisan dan wawancara penulis dengan Abu Daudi (penulis buku Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari: Tuan Haji Besar), bahwa keputusan hukum bunuh terhadap Syekh Abdul Hamid Abulung bukanlah keputusan atau restu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sebagaimana pendapat dari sebagian orang, sehingga kata mereka lantaran peristiwa hukum bunuh atau mati terhadap diri Syekh Abdul Hamid itu, mengakibatkan terjadinya hubungan yang tidak sehat diantara kedua keluarga tersebut, yang sampai sekarang katanya masih dirasakan oleh zuriat dari kedua belah pihak. Pendapat yang demikian sama sekali tidak benar. Meskipun Sultan melibatkan Syekh Muhammad Arsyad untuk dimintai pendapat, namun Syekh Muhammad Arsyad tetap mengembalikannya kepada Kerajaan dan menasihatkan agar dapat diselesaikan secara seksama dan bijaksana.
Hal menarik dikaji, pungkala umum yang menjadi sebab dihukum bunuhnya Abdul Hamid menurut tesis umum yang dipegang adalah karena ajaran Ilmu Sebuku atau paham tasawuf Wahdatul Wujud yang diajarkan oleh Abdul Hamid, benarkah demikian? Untuk menjelaskan hal ini, menarik kupasan yang dikemukakan oleh Humaidy (Kandil 2003) bahwa tasawuf Abdul Hamid bukan wahdatul wujud yang ekstrim sebagaimana yang dianut oleh Abu Yazid Bustami, Ibnu Arabi, ataupun Husien Manshur Al-Hallaj. Menurut Humaidy, ajaran tasawuf Abdul Hamid tidak bisa dimasukan dalam aliran ittihad, karena ia masih dalam tingkat fana wal baqa, itulah sebabnya ia hanya menyatakan: “Tiada yang maujud melainkan hanyalah Dia, tiada aku melainkan Dia, Dialah aku dan aku adalah Dia”, sementara ittihad Abu Yazid menyatakan “Aku adalah Engkau dan Engkau adalah Aku” Atau pula jika dibandingkan dengan paham hulul-nya Al-Hallaj, karena Abdul Hamid telah melenyapkan diri dan menyatakan yang ada hanya wujud Tuhannya, sementara Al-Hallaj menyatakan bahwa dirinya telah melebur ke dalam diri Tuhannya. Begitu pula dengan tasawuf Ibnu Arabi yang sudah memakai kata “Engkau” untuk menunjukkan kedekatan dirinya, sedangkan Abdul Hamid masih memakai kata “Dia”
Lalu jika tidak paham tasawuf yang dianutnya yang menjadi penyebabnya sebagaimana yang terjadi pada diri Hamzah Fansuri dan pengikutnya, Siti Jenar dan murid-muridnya, kira-kira apalagi? Apakah karena intrik dan manipulasi politik ataukah sejarah? Perlu penelitian dan penelusuran kembali jejak-jejak khazanah sejarah Banjar silam guna mengungkapkan fakta kebenaran, untuk menjadi bahan renungan dan pelajaran generasi sekarang, menapak masa depan yang lebih cemerlang.
Sumber disini

5 komentar:

  1. kacau sekali bro kalau kamu mengatakan sech abd hamid abulung dari yaman. Beliau itu malah sangat asli sekali orang banjar karena ayah beliau adalah raja banjar yang bernama Sultan Tamjidillah II. beliau hidup pada Zaman raja Tamjidillah II bukan raja sultan Adam.wah bayak sekali neh tulisan dari anda yang perlu dikoreksi.Kitab Barincong itulah peninggalan langsung dari beliau yang sekarang menjadi kiblat seluruh dunia yang ingin mendalami tentang ilmu ma'rifat dan Rabbaniyah.Karya beliau sangat dalam dan luar biasa dalam mengupas ilmu yang bersumber dari al'quran dan hadist. Cuman sangat sedikit ada orang yang mengetahui tentang ilmu beliau apalagi mengajarkannya. alhamdulillah saya diberikan hidayah sehingga dipertemukan dengan sang guru yang masih memeggang dan mengajarkan ilmu beliau langsung diambil dari kitab barincong.

    BalasHapus
    Balasan
    1. KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.

      KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.


      KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.

      Hapus
  2. bintang,lo jg blum tepat yg ak tau malah kitab barincong itu sbnrnya ga ada,yg namanya barincong itu waktu syeh abulung bersalaman dgn syeh Muhammad arsyad...
    dan ak jg baru tau dr seorang kakek yg langsung tanyakan ke syeh abulung di alam gaib...

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Apakah kitab barencong itu masih ada?

    BalasHapus