Minggu, 23 Agustus 2009

KH.MAS'UD PAGERWOJO (2)

Selama hidupnya, KH Ali Mas’ud sangat ringan tangan. Beliau sering menjadi rujukan para kiai di Jawa Timur untuk memecahkan problematika umat Islam.
MAKAM Gus Ud, begitu warga Sidoarjo mengenal KH Ali Mas’ud, terletak di Pagerwojo,Kec Kota Sidoarjo. Gus Ud ikut berkiprah menyebarkan Islam dengan berdakwah kepada tamu-tamu yang datang ke rumahnya.
Dia memang tak membangun pesantren, tapi muridnya tersebar di penjuru Jawa dan luar Jawa. Hidayatullah, salah satu cucu keponakan Gus Ud menuturkan, kakeknya itu memang tidak mau langsung membuka pesantren.
”Kalau menyiarkan agama Islam secara langsung tidak, tapi beliau memberi wejangan kepada siapa pun tamunya yang datang. Beliau juga menjadi rujukan kiai yang ada di Jawa Timur untuk memecahkan masalah terkait agama Islam,” jelasnya kemarin kepada SINDO. Gus Ud,kata Hidayatullah,lahir pada 1908 di Sidoarjo.
Ali Mas’ud kecil yang masih berusia 5 tahun sudah menunjukkan kelebihannya. Dia tidak pernah sekolah, tidak bisa membaca dan menulis.Namun dia, lanjut Hidayatullah, bisa membaca Alquran dan kitab-kitab lainnya sehingga wajar, kalau beliau jadi rujukan kiai di Jawa Timur untuk memecahkan masalah keislaman.
”Gus Ud mempunyai Ilmu Laduni sehingga beliau mempunyai kelebihan dibanding orang lain pada kebanyakan. Sampai beliau wafat pada 1979 sampai sekarang, banyak yang berziarah ke makamnya. Terutama malam Jumat Legi,” papar Hidayatullah yang juga pemangku Majelis Taklim Gus Ud. Bagi warga Sidoarjo, ulama yang dulunya akrab dipanggil Gus Ud dan kini lazim dipanggil Mbah Ud, merupakan ulama yang tidak menyandang gelar.
Pasalnya,sebagai orang yang mempunyai kelebihan, dia tidak mau menunjukkan. Bahkan,dalam turut menyiarkan agama Islam, dia menggunakan kelebihannya itu untuk memberi pemahaman bagi umat muslim dan nonmuslim. Hidayatullah menceritakan, Mbah Ud pernah menulis surat ke KH Rodi, Krian, terkait permasalahan yang ditanyakan.
Karena dia tidak bisa menulis, di atas kertas putih dia torehkan pensil membentuk garis bergelombang. Anehnya,KH Rodi bisa mengerti guratan pensil yang dibubuhkan oleh Mbah Ud.
”Kalau peringatan wafatnya Mbah Ud, 27 Rajab mesti ramai penziarah. Bagi warga Sidoarjo, Mbah Ud bukan hanya kiai yang mempunyai kelebihan, bisa mengobati orang sakit dan kelebihan lainnya. Namun, beliau juga ikut menyiarkan Islam melalui pemikirannya,” ujar Supriadi, warga Sidoarjo yang kerap berziarah ke makam suami almarhumah Nyai Dewi itu. Mbah Ud tidak mempunyai keturunan, sehingga saat ini yang merawat makam dan musala peninggalannya adalah cucu dari adik dan kakak Mbah Ud.
Sumber disini

KH. SALEH DARAT

DALAM kitab Alhikam, Kiai Saleh Darat menulis, salah satu tanda kewalian seseorang secara lahiriah adalah banyaknya umat yang berziarah jika ia telah meninggal dunia. Adapun secara batiniah, seseorang itu mampu menjadi wasilah (perantara) doa umat kepada Allah SWT. Kini, bertahun-tahun setelah kematiannya, dua tengara itu justru melekat pada dirinya. Setiap 10 Syawal, ribuan orang mengunjungi makam Kiai Saleh Darat di kompleks Pemakaman Umum Bergota, Semarang. Sebagian di antara mereka juga meyakini bahwa ia seorang wasilah. Terlepas dari benar-tidaknya keyakinan itu, jumlah umat yang hadir tak termungkiri menjadi penanda kebesaran namanya.
Sabtu (12/11), haul ulama besar yang terlahir dengan nama Muhammad Shalih itu kembali digelar untuk kali ke-105. Seperti tahun-tahun sebelumnya, umat berdatangan, tak hanya dari Semarang, tetapi juga kota-kota lain di Jawa Tengah seperti Kendal, Ungaran, Demak, Pati, Purwodadi, Ambarawa, Tegal, Solo, dan Pekalongan. Mereka sudah hadir semenjak pagi, bahkan di antaranya ada yang sengaja menginap sehari sebelumnya.
Dipimpin KH Muhammad Muin Alhafidz, umat yang hadir bersama-sama membaca tahlil. Ketua Pengajian Ahad Pagi 1939 itu juga menyampaikan riwayat Kiai Saleh Darat dalam menyampaikan syiar Islam di Tanah Jawa dan Nusantara. Ulama itu lahir di Desa Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, sekitar tahun 1820. Dalam kitab-kitab yang ditulisnya, dia menggunakan nama Syeikh Haji Muhammad Shalih bin Umar Alsamarani. Adapun kata ''Darat'' di belakang namanya adalah sebutan masyarakat untuk menunjukkan tempat di mana dia tinggal, yakni di Kampung Darat, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara.
Ayahnya, KH Umar, adalah ulama terkemuka yang dipercaya Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa melawan Belanda di wilayah pesisir utara Jawa. Setelah mendapat bekal ilmu agama dari ayahnya, Saleh kecil mulai mengembara, belajar dari satu ulama ke ulama lain. Tercatat KH Syahid Waturaja (belajar kitab fiqih, seperti Fath al-Qarib, Fath Al Mu'in, Minhaj al-Qawim, dan Syarb al-Khatib).
Dia juga belajar kepada KH Muhammad Saleh Asnawi Kudus (tafsir Aljalalain Alsuyuti, KH Ishaq Damaran (nahwu dan sharaf), KH Abu Abdillah Muhammad Hadi Banguni (ilmu falaq), KH Ahmad Bafaqih Balawi (kajian jauharah Attauhid karya Syaikh Ibrahim Allaqani dan Minhaj Alabidin karya Alghazali) serta KH Abdul Gani Bima (kitab Almasa'il Assittin karya Abu Alabbas Ahmad Alghani).
Belum merasa cukup, dia diajak ayahnya memperdalam agama di Singapura, sebelum akhirnya menuju Makkah. Di tanah haram, dia berguru kepada ulama-ulama besar, antara lain Syaikh Muhammad Almarqi, Syaikh Muhammad Sulaiman Hasballah, Syaikh Sayid Muhammad Zein Dahlan, Syaikh Zahid, Syaikh Umar Assyani, Syaikh Yusuf Almisri, dan Syaikh Jamal Mufti Hanafi. Beberapa santri seangkatannya antara lain KH Muhamad Nawawi Banten (Syaikh Nawawi Aljawi) dan KH Cholil Bangkalan.
Pengagum
Seusai menuntaskan pendidikannya, dia mendapat kesempatan mengajar, terutama kepada para santri yang datang dari Jawa. Satu di antaranya adalah KH Hasyim Asy'ari yang kemudian mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). Sepulang dari Makkah, Muhammad Saleh mengajar di Pondok Pesantren Darat milik mertuanya, KH Murtadlo. Semenjak kedatangannya, pesantren itu berkembang pesat.
Para santri berdatangan dari luar daerah. Sebagian di antaranya menjadi ulama terkemuka, antara lain KH Mahfuzd (pendiri Pondok Pessantren Termas, Pacitan), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), KH Idris (pendiri Pondok Pesantren Jamsaren, Solo), KH Sya'ban (ulama ahli falaq dari Semarang), Penghulu Tafsir Anom dari Keraton Surakarta, KH Dalhar (pendiri Ponpes Watucongol, Muntilan), dan Kiai Moenawir (Krapyak, Yogyakarta)
Sumber disini

SUFI BANJAR SYEKH ABULUNG


Sejarah mencatat, bahwa perkembangan tasawuf di Indonesia –dan juga di Tanah Banjar– tidak hanya didominasi oleh aliran tasawuf akhlaki yang dikenalkan sufi Hasan al-Basri ataupun Junaid al-Baghdadi, tetapi juga aliran tasawuf wahdatul wujud yang dipelopori oleh Abu Yazid al-Bustami (874 M) dengan paham al-Fana al-Baqa dan al-Ittihad, Husien ibnu Mansur al-Hallaj (858-922 M) dengan paham al-Hulul, dan Muhyiddin Ibnu Arabi (1165 M-1240), dengan teori Khalq dan al-Haq.
Pengaruh pemikiran tasawuf wahdatul wujud terlihat dari paham tasawuf yang disampaikan Hamzah Fansuri (dari Aceh), Syekh Syamsuddin as-Sumatrani (Sumatera), Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang dengan konsep Manunggaling Kawula Gusti-nya (Jawa). Sementara, untuk kawasan Kalimantan, khususnya Tanah Banjar tokoh tasawuf yang dianggap wahdatul wujud dan sangat populer adalah Syekh Abdul Hamid Abulung.
Legenda tentang ajaran dan meninggal Syekh Abulung sampai sekarang masih kontroversial. Kemunculan dan kepergiannya dianggap sangat mengejutkan dan menggemparkan berbagai kalangan dan masyarakat luas, karena ajaran tasawuf wahdatul wujudnya. Pengaruhnya sangat besar ketika ia menyatakan bahwa syariat yang diajarkan pada masanya adalah kulit dan belum sampai kepada hakikat dan menyatakan statement baru bahwa “Tiada yang maujud melainkan hanyalah Dia, tiada aku melainkan Dia, Dialah aku dan aku adalah Dia”. Walaupun tidak meninggalkan karya tulis dan lebih bersifat tokoh lokal, namun ketokohan Abdul Hamid diakui dan ajarannya –yang dikenal dengan istilah Ilmu Sabuku– disampaikan oleh orang-perorang hingga sekarang secara lisan. Siapakah Syekh Abdul Hamid Abulung dan bagaimana paham tasawuf wahdatul wujudnya?
Tulisan-tulisan yang mengungkapkan sejarah hidup dan pemikiran Syekh Abulung sebagai salah seorang icon khazanah intelektual Islam Banjar sangat sedikit, dan bisa dihitung dengan jari. Dibandingkan dengan tulisan-tulisan yang mengupas tentang riwayat hidup, perjuangan, pemikiran dan karya tulis Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, atau pula pula Syekh Muhammad Nafis bin Ideris bin Husien al-Banjari yang meninggalkan karya tulis Ad-Durr al-Nafis dan namanya termaktub dalam salah satu entri di Ensiklopedi Islam Indonesia, sehingga dikenal tidak hanya di Tanah Banjar akan tetapi juga di Asia Tenggara. Lebih-lebih lagi Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari atau Datu Kalampayan, penulis kitab Sabil al-Muhtadin.
Secara khusus, Syekh Abdul Hamid memang tidak meninggalkan karya tulis yang bisa dirujuk untuk mengkaji paham tasawufnya, tahun kelahirannyapun tidak diketahui secara pasti. Karena itulah dan sampai sekarang figur tokoh ini masih menyisakan sejumlah misteri, baik berkenaan dengan riwayat hidup maupun ajaran tasawufnya. Walaupun demikian, dalam salah riwayat misalnya hasil penelitian Sahriansyah dan Syafruddin (2003) berkenaan dengan Studi Naskah Risalah Tasawuf Syekh Abdul Hamid Abulung dikatakan bahwa Abdul Hamid bukanlah asli orang Banjar, tetapi ia berasal dari negeri Yaman dan lahir pada tahun 1148 H/1735 M dan wafat 12 Dzulhijjah 1203/1788M. Sementara, ketika hukuman mati diputuskan pada tanggal 12 Dzulhijjah 1203 H/1788 M atas perintah Sultan Tahmidullah II (1785-1808 M), di Martapura ia telah berusia 55 tahun. Riwayat lain menjelaskan hukuman mati tersebut atas perintah Sultan Adam, karena pada masa inilah syariat Islam dalam bentuk Undang-Undang Sultan Adam atau UUSA diterapkan di seluruh wilayah kerajaan Islam Banjar. Syekh Abulung kemudian dimakamkan di Kampung Abulung Sungai Batang Martapura.
Berdasarkan pendapat ini, maka hitungan usia Syekh Abdul Hamid jelas lebih muda dari usia Syekh Muhammad Arsyad, yang dilahirkan pada tanggal 15 Shafar 1122 H/19 Maret 1710 M, kurang lebih bertaut 25 tahun.
Pendapat lain mengungkapkan bahwa Syekh Abdul Hamid Abulung yang dikenal juga dengan sebutan Syekh Abulung hidup sezaman dengan Datu Kalampayan adalah asli orang Banjar, beliau dilahirkan di Kampung Abulung (Sungai Batang, Martapura), yang bersebelahan dengan Kampung Dalam Pagar, yang dilekatkan dibelakang namanya. Karena sudah menjadikan kebiasaan untuk melekatkan atau menisbatkan nama seorang tokoh dengan nama tempat berasalnya, seperti Abdul Qadir “Jailani”, Imam “Nawawi”, Junaid “al-Baghdadi”, Muhammad Arsyad “al-Banjari”, dan sebagainya. Bahkan diungkapkan pula bahwa Abdul Hamid adalah salah seorang putra Banjar yang diberangkatkan ke Mekkah untuk menuntut ilmu agama oleh Sultan, bersamaan dengan keberangkatan Syekh Muhammad Arsyad. Bedanya ketika di Mekkah Syekh Muhammad Arsyad lebih mendalami ilmu syariat –di samping tasawuf–, sedangkan Abdul Hamid lebih mendalami ilmu hakikat (tasawuf) yang membicarakan tentang masalah ketuhanan, karenanya ketika mereka kembali ke daerah ilmu yang mereka ajarkan kepada masyarakatpun sesuai dengan mengutamakan spesifikasi keahlian masing-masing. Pendapat ini dikaitkan dengan kelahiran Abdul Hamid, lemah argumentasinya. Karena rasanya tidak mungkin, sebab waktu berangkat ke Mekkah umur Syekh Muhammad Arsyad kurang lebih 30 tahun, sementara umur Abdul Hamid waktu itu baru 5 tahun, jika benar Syekh Abulung dilahirkan pada tahun 1735.
Menelisik dari gelar yang dilekatkan padanya, sebagaimana dijelaskan Humaidy (Kandil, 2003), secara kultural sebenarnya mengisyaratkan bahwa Abdul Hamid adalah salah seorang tokoh masyarakat Banjar yang disegani, mempunyai kekuatan magis dan supranatural, dan kedudukan sejajar dengan Kepala Adat (termasuk kepala Suku dan Dukun). Demikian juga dengan predikat Syekh yang melekat pada namanya, menunjukkan status ketinggian ilmu yang dikuasainya, terutama dalam ilmu agama sekaligus pula meliputi ketinggian ibadah dan akhlaknya. Di samping itu, secara umum syekh juga mengisyaratkan bahwa penyandang gelar tersebut pernah menuntut ilmu cukup lama di Haramain atau Mekkah dan Madinah (hal ini sinkron dengan pendapat yang menyatakan bahwa Abdul Hamid juga menuntut ilmu ke Mekkah)) dan mempunyai banyak murid yang tersebar, meskipun Abdul Hamid tidak memiliki semacam lembaga pendidikan. Lebih dari itu, sebutan syekh juga mengimplisitkan bahwa orang tersebut mempunyai posisi sangat penting dalam dunia tasawuf dan tarekat, mungkin sebagai khalifah, mursyid, murabbi atau badal.
Sementara, membaca riwayat hidupnya, sejarah hidup Abdul Hamid mirip dengan versi cerita Syekh Siti Jenar, yang ajarannya juga dianggap meresahkan masyarakat, sehingga harus dilenyapkan. Pihak kerajaan Banjar sesudah mendengar berbagai laporan tentang ajaran Syekh Abdul Hamid yang meresahkan, sehingga perlu untuk memanggil dan menguji kebenaran ilmu yang diyakininya. Panggilan yang disampaikan kepadanya dijawab persis seperti jawaban yang dikemukakan oleh Syekh Siti Jenar. Namun pada akhirnya Abdul Hamid mau menghadap sultan, yang pada akhirnya oleh pihak kerajaan ia divonis hukuman dimasukan dalam kerangkeng besi dan ditenggelamkan ke sungai, namun ia tidak mati bahkan menurut cerita selama dalam kurungannya tersebut ia sempat memberikan pelajaran kepada sepuluh orang yang dikenal sebagai orang sepuluh. Kematian Abdul Hamid menurut versi yang beredar adalah dipenggal leher oleh senjatanya sendiri sebagaimana wasiat yang disampaikannya pada Sultan Banjar, dan pada cucuran darahnya kemudian membentuk tulisan kalimat tauhid laa ilaha illallah.
Menurut Ahmad Basuni (1986:49-51) keputusan menghukum mati Abdul Hamid Abulung tersebut didasarkankan fatwa Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang mengatakan bahwa ajaran tasawuf yang diajarkan Syekh Abdul Hamid Abulung kepada orang awam dapat menyesatkan akidah, membawa kepada syirik dan merusak kehidupan beragama. Namun menurut tulisan dan wawancara penulis dengan Abu Daudi (penulis buku Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari: Tuan Haji Besar), bahwa keputusan hukum bunuh terhadap Syekh Abdul Hamid Abulung bukanlah keputusan atau restu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sebagaimana pendapat dari sebagian orang, sehingga kata mereka lantaran peristiwa hukum bunuh atau mati terhadap diri Syekh Abdul Hamid itu, mengakibatkan terjadinya hubungan yang tidak sehat diantara kedua keluarga tersebut, yang sampai sekarang katanya masih dirasakan oleh zuriat dari kedua belah pihak. Pendapat yang demikian sama sekali tidak benar. Meskipun Sultan melibatkan Syekh Muhammad Arsyad untuk dimintai pendapat, namun Syekh Muhammad Arsyad tetap mengembalikannya kepada Kerajaan dan menasihatkan agar dapat diselesaikan secara seksama dan bijaksana.
Hal menarik dikaji, pungkala umum yang menjadi sebab dihukum bunuhnya Abdul Hamid menurut tesis umum yang dipegang adalah karena ajaran Ilmu Sebuku atau paham tasawuf Wahdatul Wujud yang diajarkan oleh Abdul Hamid, benarkah demikian? Untuk menjelaskan hal ini, menarik kupasan yang dikemukakan oleh Humaidy (Kandil 2003) bahwa tasawuf Abdul Hamid bukan wahdatul wujud yang ekstrim sebagaimana yang dianut oleh Abu Yazid Bustami, Ibnu Arabi, ataupun Husien Manshur Al-Hallaj. Menurut Humaidy, ajaran tasawuf Abdul Hamid tidak bisa dimasukan dalam aliran ittihad, karena ia masih dalam tingkat fana wal baqa, itulah sebabnya ia hanya menyatakan: “Tiada yang maujud melainkan hanyalah Dia, tiada aku melainkan Dia, Dialah aku dan aku adalah Dia”, sementara ittihad Abu Yazid menyatakan “Aku adalah Engkau dan Engkau adalah Aku” Atau pula jika dibandingkan dengan paham hulul-nya Al-Hallaj, karena Abdul Hamid telah melenyapkan diri dan menyatakan yang ada hanya wujud Tuhannya, sementara Al-Hallaj menyatakan bahwa dirinya telah melebur ke dalam diri Tuhannya. Begitu pula dengan tasawuf Ibnu Arabi yang sudah memakai kata “Engkau” untuk menunjukkan kedekatan dirinya, sedangkan Abdul Hamid masih memakai kata “Dia”
Lalu jika tidak paham tasawuf yang dianutnya yang menjadi penyebabnya sebagaimana yang terjadi pada diri Hamzah Fansuri dan pengikutnya, Siti Jenar dan murid-muridnya, kira-kira apalagi? Apakah karena intrik dan manipulasi politik ataukah sejarah? Perlu penelitian dan penelusuran kembali jejak-jejak khazanah sejarah Banjar silam guna mengungkapkan fakta kebenaran, untuk menjadi bahan renungan dan pelajaran generasi sekarang, menapak masa depan yang lebih cemerlang.
Sumber disini

KH. M. ARWNI AMIN /MBAH ARWANI


Sosok Alim, Santun dan Lembut
Yanbu’ul Qur’an Adalah pondok huffadz terbesar yang ada di Kudus. Santrinya tak hanya dari kota Kudus. Tetapi dari berbagai kota di Nusantara. Bahkan, pernah ada beberapa santri yang datang dari luar negeri seperti Malaysia dan Brunei Darussalam.Pondok tersebut adalah pondok peninggalan KH. M. Arwani Amin. Salah satu Kyai Kudus yang sangat dihormati karena kealimannya, sifatnya yang santun dan lemah lembut.KH. M. Arwani Amin dilahirkan dari pasangan H. Amin Sa’id dan Hj. Wanifah pada Selasa Kliwon, 5 Rajab 1323 H., bertepatan dengan 5 September 1905 M di Desa Madureksan Kerjasan, sebelah selatan masjid Menara Kudus.Nama asli beliau sebenarnya Arwan. Tambahan “I” di belakang namanya menjadi “Arwani” itu baru dipergunakan sejak kepulangannya dari Haji yang pertama pada 1927. Sementara Amin bukanlah nama gelar yang berarti “orang yang bisa dipercaya”. Tetapi nama depan Ayahnya; Amin Sa’id.
KH. Arwani Amin adalah putera kedua dari 12 bersaudara. Saudara-saudara beliau secara berurutan adalah Muzainah, Arwani Amin, Farkhan, Sholikhah, H. Abdul Muqsith, Khafidz, Ahmad Da’in, Ahmad Malikh, I’anah, Ni’mah, Muflikhah dan Ulya.Dari sekian saudara Mbah Arwani (demikian panggilan akrab KH. M. Arwani Amin), yang dikenal sama-sama menekuni al-Qur’an adalah Farkhan dan Ahmad Da’in.Ahmad Da’in, adiknya Mbah Arwani ini bahkan terkenal jenius. Karena beliau sudah hafal al-Qur’an terlebih dahulu daripada Mbah Arwani. Yakni pada umur 9 tahun. Ia bahkan hafal Hadits Bukhori Muslim dan menguasai Bahasa Arab dan Inggris. Kecerdasan dan kejeniusan Da’in inilah yang menggugah Mbah Arwani dan adiknya Farkhan, terpacu lebih tekun belajar.Konon, menurut KH. Sya’roni Ahmadi, kelebihan Mbah Arwani dan saudara-saudaranya adalah berkat orangtuanya yang senang membaca al-Qur’an. Di mana orangtuanya selalu menghatamkan membaca al-Qur’an meski tidak hafal. Selain barokah orantuanya yang cinta kepada al-Qur’an, KH. Arwani Amin sendiri adalah sosok yang sangat haus akan ilmu. Ini dibuktikan dengan perjalanan panjang beliau berkelana ke berbagai daerah untuk mondok, berguru pada ulama-ulama. Tak kurang, 39 tahun beliau habiskan untuk berkelana mencari ilmu. Diantara pondok pesantren yang pernah disinggahinya menuntut ilmu adalaj pondok Jamsaren (Solo) yang diasuh oleh Kyai Idris, Pondok Tebu Ireng yang diasuh oleh KH. Hasyim Asy’ari dan Pondok Munawir (Krapak) yang diasuh oleh Kyai Munawir.Selama menjadi santri, Mbah Arwani selalu disenangi para Kyai dan teman-temannya karena kecerdasan dan kesopanannya. Bahkan, karena kesopanan dan kecerdasannya itu, KH. Hasyim Asy’ari sempat menawarinya akan dijadikan menantu. Namun, Mbah Arwani memohon izin kepada KH. Hasyim Asy’ari bermusyawarah dengan orang tuanya. Dan dengan sangat menyesal, orang tuanya tidak bisa menerima tawaran KH. Hasyim Asy’ari, karena kakek Mbah Arwani (KH. Haramain) pernah berpesan agar ayahnya berbesanan dengan orang di sekitar Kudus saja.Akhirnya, Mbah Arwani menikah dengan Ibu Nyai Naqiyul Khud pada 1935. Bu Naqi adalah puteri dari KH. Abdullah Sajad, yang sebenarnya masih ada hubungan keluarga dengan Mbah Arwani sendiri. Dari pernikahannya dengan Bu Naqi ini, Mbah Arwani diberi empat keturunan. Namun yang masih sampai sekarang tinggal dua, yaitu KH. M. Ulinnuha dan KH. M. Ulil Albab, yang meneruskan perjuangan Mbah Arwani mengasuh pondok Yanbu’ sampai sekarang. Yah, demikian besar jasa Mbah Arwani terhadap Ummat Islam di Indonesia terutama masyarakat Kudus, dengan kiprahnya mendirikan pondok yang namanya dikenal luas hingga sekarang.Banyak Kyai telah lahir dari pondok yang dirintisnya tersebut. KH. Sya’roni Ahmadi, KH. Hisyam, KH. Abdullah Salam (Kajen), KH. Muhammad Manshur, KH. Muharror Ali (Blora), KH. Najib Abdul Qodir (Jogja), KH. Nawawi (Bantul), KH. Marwan (Mranggen), KH. Ah. Hafidz (Mojokerto), KH. Abdullah Umar (Semarang), KH. Hasan Mangli (Magelang), adalah sedikit nama dari ribuan Kyai yang pernah belajar di pondok beliau. Kini, Mbah Arwani Amin telah tiada. Beliau meninggal dunia pada 1 Oktober 1994 M. bertepatan dengan 25 Rabi’ul Akhir 1415 H. Beliau meninggal dalam usia 92 tahun. Namun, meski beliau telah meninggal dunia, namanya tetap harum di hati sanubari masyarakat. Pondok Yanbu’ul Qur’an, Madrasah TBS, Kitab Faidlul Barakat dan berbagai kitab lain yang sempat ditashihnya, menjadi saksi perjuangan beliau dalam mengabdikan dirinya terhadap masyarakat, ilmu dan Islam
Sumber disini

GUS MIEK/ KH.CHAMIM DJAZULI (3)



Nama lengkap beliau adalah KH. Chamim Jazuli lahir dari seorang ulama besar di daerah ploso, mojo, kediri jawa timur. beliau adalah pendiri sema’an alquran dan jamaah dzikrul ghofilin.. sejak kecil gus miek panggilan akrab beliau sudah memiliki keanehan-keanehan. beliau sering pergi dari rumah sampai Kyai Jazuli ayah beliau menganggap putranya hilang. Pada waktu di pesantren ayahnya gus miek jarang sekali mengikuti pengajian di madrasah tetapi anehnya itu semua tidak membuat gus miek ketinggalan pemahaman tentang agama (kitab kuning) dengan santri-santri ayah beliau. ketika diuji kemampuan gus miek dalam memahami agama malahan jauh melebihi santri-santri ayahnya yang setiap hari masuk dan mengaji di madrasah. beliau kemudian berguru pada Kyai Dalhar watucongol, Kyai Hamid Pasuruan, dll semua guru dari gus miek tersebut telah dikenal oleh masyarakat sebagai tokoh agama yang paling berpengaruh di daerahnya.

Pada zaman beliau terdapat suatu ketetapan di organisasi Nahdhatul Ulama (NU) tentang thoriqoh. Organisasi NU menetepkan bahwa thoriqoh yang resmi dan diakui keberadaannya hanyalah thoriqoh yang mu’tabaroh artinya silsilah dari thoriqoh itu jelas sampai ke Nabi Muhammad SAW sedangkan thoriqoh yang tidak mu’tabaroh seperti thoriqohnya sunan kalijogo, syaikh siti jenar itu tidak diakui keberadaannya. Sungguh tindakan yang sangat bijaksana menurut saya karena pada saat itu gus miek tidak memihak salah satu thoriqoh seperti yang dilakukan oleh kebanyakan kyai, tetapi gus miek malahan membuat suatu jama’ah dimana jama’ah tersebut berkumpul melakukan dzikir bersama tanpa harus diembel-embeli thoriqoh mu’tabaroh atau ghoiru mu’tabaroh yang diberi nama jama’ah dzikrul ghofilin. ini merupakan suatu solusi yang bijaksana dimana beliau mampu mengakomodir segala kepentingan. setiap orang bisa masuk ke jama’ah yang beliau dirikan baik dari kelompok mu’tabaroh atau ghiru mu’tabaroh bahkan orang bukan thoriqohpun bisa masuk pokonya syarat utama untuk masuk jama’ah dzikrul ghofilin adalah islam.

gus miek selain dikenal sebagai seorang ulama besar juga dikenal sebagai orang yang nyeleneh beliau lebih menyukai da’wah di kerumunan orang yang melakukan maksiat dibandingkan dengan menjadi seorang kyai yang tinggal di pesantren yang mengajarkan santrinya kitab kuning. hampir tiap malam beliau menyusuri jalan-jalan di jawa timur keluar masuk club malam, bahkan nimbrung dengan tukang becak, penjual kopi di pinggiran jalan hanya untuk memberikan sedikit pencerahan kepada mereka yang sedang dalam kegelapan. Ajaran-ajaran beliau yang terkenal adalah suluk jalan terabas atau dalam bahasa indonesianya pemikiran jalan pintas.Gus Miek salah-satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan pejuang Islam yang masyhur di tanah Jawa dan memiliki ikatan darah kuat dengan berbagai tokoh Islam ternama, khususnya di Jawa Timur. Maka wajar, jika Gus Miek dikatakan pejuang agama yang tangguh dan memiliki kemampuan yang terkadang sulit dijangkau akal. Selain menjadi pejuang Islam yang gigih, dan pengikut hukum agama yang setia dan patuh, Gus Miek memiliki spritualitas atau derajat kerohanian yang memperkaya sikap, taat, dan patuh terhadap Tuhan. Namun, Gus Miek tidak melupakan kepentingan manusia atau intraksi sosial (hablum minallah wa hablum minannas). Hal itu dilakukan karena Gus Miek mempunyai hubungan dan pergaulan yang erat dengan (alm) KH. Hamid Pasuruan, dan KH. Achmad Siddiq, serta melalui keterikatannya pada ritual ”dzikrul ghafilin” (pengingat mereka yang lupa). Gerakan-gerakan spritual Gus Miek inilah, telah menjadi budaya di kalangan Nahdliyin (sebutan untuk warga NU), seperti melakukan ziarah ke makam-makam para wali yang ada di Jawa maupun di luar Jawa.Hal terpenting lain untuk diketahui juga bahwa amalan Gus Miek sangatlah sederhana dalam praktiknya. Juga sangat sederhana dalam menjanjikan apa yang hendak didapat oleh para pengamalnya, yakni berkumpul dengan para wali dan orang-orang saleh, baik di dunia maupun akhirat.

GUS MIEK PUTRA KH.ACHMAD DJAZULI USTMAN


Gus Miek seorang hafizh (penghapal) Al-Quran. Karena, bagi Gus Miek, Al-Quran adalah tempat mengadukan segala permasalahan hidupnya yang tidak bisa dimengerti orang lain. Dengan mendengarkan dan membaca Al-Quran, Gus Miek merasakan ketenangan dan tampak dirinya berdialog dengan Tuhan ,beliaupun membentuk sema’an alquran dan jama’ah Dzikrul Ghofilin.

gus miek selain dikenal sebagai seorang ulama besar juga dikenal sebagai orang yang nyeleneh beliau lebih menyukai da’wah di kerumunan orang yang melakukan maksiat seperti discotiq ,club malam dibandingkan dengan menjadi seorang kyai yang tinggal di pesantren yang mengajarkan santrinya kitab kuning. hampir tiap malam beliau menyusuri jalan-jalan di jawa timur keluar masuk club malam, bahkan nimbrung dengan tukang becak, penjual kopi di pinggiran jalan hanya untuk memberikan sedikit pencerahan kepada mereka yang sedang dalam kegelapan. Ajaran-ajaran beliau yang terkenal adalah suluk jalan terabas atau dalam bahasa indonesianya pemikiran jalan pintas.

Pernah di ceritakan Suatu ketika Gus Miek pergi ke discotiq dan disana bertemu dengan Pengunjung yang sedang asyik menenggak minuman keras, Gus Miek menghampiri mereka dan mengambil sebotol minuman keras lalu memasukkannya ke mulut Gus Miek salah satu dari mereka mengenali Gus Miek dan bertanya kepada Gus Miek.” Gus kenapa sampeyan ikut Minum bersama kami ? sampeyankan tahu ini minuman keras yang diharamkan oleh Agama ? lalu Gus Miek Menjawab “aku tidak meminumnya …..!! aku hanya membuang minuman itu kelaut…!hal ini membuat mereka bertanya-tanya, padahal sudah jelas tadi Gus Miek meminum minuman keras tersebut. Diliputi rasa keanehan ,Gus miek angkat bicara “sampeyan semua ga percaya kalo aku tidak meminumnya tapi membuangnya kelaut..? lalu Gus Miek Membuka lebar Mulutnya dan mereka semua terperanjat kaget didalam Mulut Gus miek terlihat Laut yang bergelombang dan ternyata benar minuman keras tersebut dibuang kelaut. Dan Saat itu juga mereka diberi Hidayah Oleh Alloh SWt untuk bertaubat dan meninggalkan minum-minuman keras yang dilarang oleh agama. Itulah salah salah satu Karomah kewaliyan yang diberikan Alloh kepada Gus Miek.

jika sedang jalan-jalan atau keluar, Gus Miek sering kali mengenakan celana jeans dan kaos oblong. Tidak lupa, beliau selalu mengenakan kaca mata hitam lantaran lantaran beliau sering menangis jika melihat seseorang yang “masa depannya” suram dan tak beruntung di akherat kelak.

Ketika beliau berda’wak di semarang tepatnya di NIAC di pelabuhan tanjung mas.Niac adalah surga perjudian bagi para cukong-cukong besar baik dari pribumi maupun keturunan ,Gus Miek yang masuk dengan segala kelebihannya mampu memenangi setiap permainan, sehingga para cukong-cukong itu mengalami kekalahan yang sangat besar. Niac pun yang semula menjadi surga perjudian menjadi neraka yang sangat menakutkan

Satu contoh lagi ketika Gus miek berjalan-jalan ke Surabaya, ketika tiba di sebuah club malam Gus miek masuk kedalam club yang di penuhi dengan perempuan-perempuan nakal, lalu gus miek langsung menuju watries (pelayan minuman) beliau menepuk pundak perempuan tersebut sambil meniupkan asap rokok tepat di wajahnya, perempuan itupun mundur tapi terus di kejar oleh Gus miek sambil tetap meniupkan asap rokok diwajah perempuan tersebut. Perempuan tersebut mundur hingga terbaring di kamar dengan penuh ketakutan, setelah kejadian tersebut perempuan itu tidak tampak lagi di club malam itu.

Pernah suatu ketika Gus Farid (anak KH.Ahamad Siddiq yang sering menemani Gus Miek) mengajukan pertanyaan yang sering mengganjal di hatinya, pertama bagaimana perasaan Gus Miek tentang Wanita ? “Aku setiap kali bertemu wanita walaupun secantik apapun dia dalam pandangan mataku yang terlihat hanya darah dan tulang saja jadi jalan untuk syahwat tidak ada”jawab Gus miek.

Pertanyaan kedua Gus Farid menayakan tentang kebiasaan Gus Miek memakai kaca mata hitam baik itu dijalan maupun saat bertemu dengan tamu…”Apabila aku bertemu orang dijalan atau tamu aku diberi pengetahuaan tentang perjalanan hidupnya sampai mati. Apabila aku bertemu dengan seseorang yang nasibnya buruk maka aku menangis, maka aku memakai kaca mata hitam agar orang tidak tahu bahwa aku sedang menagis “jawab Gus miek

Adanya sistem Da’wak yang dilakukan Gus miek tidak bisa di contoh begitu saja karena resikonya sangat berat bagi mereka yang Alim pun Sekaliber KH.Abdul Hamid (pasuruan) mengaku tidak sanggup melakukan da’wak seperti yang dilakukan oleh Gus Miek padahal Kh.Abdul Hamid juga seorang waliyalloh.

Tepat tanggal 5 juni 1993 Gus Miek menghembuskan napasnya yang terakhir di rumah sakit Budi mulya Surabaya (sekarang siloam). Kyai yang nyeleneh dan unik akhirnya meninggalkan dunia dan menuju kehidupan yang lebih abadi dan bertemu dengan Tuhannya yang selama ini beliau rindukan.

Sumber disini

SYEKH ABDUL MALIK/ MBAH MALIK

Beliau adalah sosok ulama yang cukup di segani di kebumen propinsi jawa tengah,
Syaikh Abdul Malik semasa hidupnya memegang dua thariqah besar (sebagai mursyid) yaitu: Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah dan Thariqah Asy-Syadziliyah. Sanad thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah telah ia peroleh secara langsung dari ayah beliau yakni Syaikh Muhammad Ilyas, sedangkan sanad Thariqah Asy-Sadziliyah diperolehnya dari As-Sayyid Ahmad An-Nahrawi Al-Makki (Mekkah).

Dalam hidupnya, Syaikh Abdul Malik memiliki dua amalan wirid utama dan sangat besar, yaitu membaca Al-Qur’an dan Shalawat. Beliau tak kurang membaca shalwat sebanyak 16.000 kali dalam setiap harinya dan sekali menghatamkan Al-Qur’an. Adapun shalawat yang diamalkan adalah shalawat Nabi Khidir AS atau lebih sering disebut shalawat rahmat, yakni “Shallallah ‘ala Muhammad.” Dan itu adalah shalawat yang sering beliau ijazahkan kepada para tamu dan murid beliau. Adapun shalawat-shalawat yang lain, seperti shalawat Al-Fatih, Al-Anwar dan lain-lain.

Beliau juga dikenal sebagai ulama yang mempunyai kepribadian yang sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan ketinggian dari akhlaq yang melekat pada diri beliau. Sehingga amat wajarlah bila masyarakat Banyumas dan sekitarnya sangat mencintai dan menghormatinya.

Beliau disamping dikenal memiliki hubungan yang baik dengan para ulama besar umumnya, Syaikh Abdul Malik mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ulama dan habaib yang dianggap oleh banyak orang telah mencapai derajat waliyullah, seperti Habib Soleh bin Muhsin Al-Hamid (Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bilfaqih (Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi Al-Hamid (Brani, Probolinggo), KH Hasan Mangli (Magelang), Habib Hamid bin Yahya (Sokaraja, Banyumas) dan lain-lain.

Diceritakan, saat Habib Soleh Tanggul pergi ke Pekalongan untuk menghadiri sebuah haul. Selesai acara haul, Habib Soleh berkata kepada para jamaah,”Apakah kalian tahu, siapakah gerangan orang yang akan datang kemari? Dia adalah salah seorang pembesar kaum ‘arifin di tanah Jawa.” Tidak lama kemudian datanglah Syaik Abdul Malik dan jamaah pun terkejut melihatnya.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Habib Husein bin Hadi Al-Hamid (Brani, Kraksaan, Probolinggo) bahwa ketika Syaikh Abdul Malik berkunjung ke rumahnya bersama rombongan, Habib Husein berkata, ”Aku harus di pintu karena aku mau menyambut salah satu pembesar Wali Allah.”

Asy-Syaikh Abdul Malik lahir di Kedung Paruk, Purwokerto, pada hari Jum’at 3 Rajab 1294 H (1881). Nama kecilnya adalah Muhammad Ash’ad sedang nama Abdul Malik diperoleh dari ayahnya, KH Muhammad Ilyas ketika ia menunaikan ibadah haji bersamanya. Sejak kecil Asy-Syaikh Abdul Malik telah memperoleh pengasuhan dan pendidikan secara langsung dari kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya yang ada di Sokaraja, Banyumas terutama dengan KH Muhammad Affandi.

Setelah belajar Al-Qur’an dengan ayahnya, Asy-Syaikh kemudian mendalami kembali Al-Qur’an kepada KH Abu Bakar bin H Yahya Ngasinan (Kebasen, Banyumas). Pada tahun 1312 H, ketika Syaikh Abdul Malik sudah menginjak usia dewasa, oleh sang ayah, ia dikirim ke Mekkah untuk menimba ilmu agama. Di sana ia mempelajari berbagai disiplin ilmu agama diantaranya ilmu Al-Qur’an, tafsir, Ulumul Qur’an, Hadits, Fiqh, Tasawuf dan lain-lain. Asy-Syaikh belajar di Tanah suci dalam waktu yang cukup lama, kurang lebih selama limabelas tahun.

Dalam ilmu Al-Qur’an, khususnya ilmu Tafsir dan Ulumul Qur’an, ia berguru kepada Sayid Umar Asy-Syatha’ dan Sayid Muhammad Syatha’ (putra penulis kitab I’anatuth Thalibin hasyiyah Fathul Mu’in). Dalam ilmu hadits, ia berguru Sayid Tha bin Yahya Al-Magribi (ulama Hadramaut yang tinggal di Mekkah), Sayid Alwi bin Shalih bin Aqil bin Yahya, Sayid Muhsin Al-Musawwa, Asy-Syaikh Muhammad Mahfudz bin Abdullah At-Tirmisi. Dalam bidang ilmu syariah dan thariqah alawiyah ia berguru pada Habib Ahmad Fad’aq, Habib Aththas Abu Bakar Al-Attas, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya), Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas (Bogor), Kyai Soleh Darat (Semarang).

Sementara itu, guru-gurunya di Madinah adalah Sayid Ahmad bin Muhammad Amin Ridwan, Sayid Abbas bin Muhammad Amin Raidwan, Sayid Abbas Al Maliki Al-Hasani (kakek Sayid Muhammad bin Alwi Al Maliki Al-Hasani), Sayid Ahmad An-Nahrawi Al Makki, Sayid Ali Ridha.

Setelah sekian tahun menimba ilmu di Tanah Suci, sekitar tahun 1327 H, Asy-Syaikh Abdul Malik pulang ke kampung halaman untuk berkhidmat kepada keduaorang tuanya yang saat itu sudah sepuh (berusia lanjut). Kemudian pada tahun 1333 H, sang ayah, Asy Syaikh Muhammad Ilyas berpulang ke Rahmatullah.

Sesudah sang ayah wafat, Asy-Syaikh Abdul Malik kemudian mengembara ke berbagai daerah di Pulau Jawa guna menambah wawasan dan pengetahuan dengan berjalan kaki. Ia pulang ke rumah tepat pada hari ke- 100 dari hari wafat sang ayah, dan saat itu umur Asy Syaikh berusia tiga puluh tahun.

Sepulang dari pengembaraan, Asy-Syaikh tidak tinggal lagi di Sokaraja, tetapi menetap di Kedung Paruk bersama ibundanya, Nyai Zainab. Perlu diketahui, Asy-Syaikh Abdul Malik sering sekali membawa jemaah haji Indonesia asal Banyumas dengan menjadi pembimbing dan syaikh. Mereka bekerjasama dengan Asy-Syaikh Mathar Mekkah, dan aktivitas itu dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama.

Sehingga wajarlah kalau selama menetap di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu-ilmu agama dengan para ulama dan syaikh yang ada di sana. Berkat keluasan dan kedalaman ilmunya, Syaikh Abdul Malik pernah memperoleh dua anugrah yakni pernah diangkat menjadi Wakil Mufti Madzab Syafi’i di Mekkah dan juga diberi kesempatan untuk mengajar. Pemerintah Saudi sendiri sempat memberikan hadiah berupa sebuah rumah tinggal yang terletak di sekitar Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes. Anugrah yang sangat agung ini diberikan oleh Pemerintah Saudi hanya kepada para ulama yang telah memperoleh gelar Al-‘Allamah.

Syaikh Ma’shum (Lasem, Rembang) setiap berkunjung ke Purwokerto, seringkali menyempatkan diri singgah di rumah Asy-Syaikh Abdul Malik dan mengaji kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibnu Malik secara tabarrukan (meminta barakah) kepada Asy-Syaikh Abdul Malik. Demikian pula dengan Mbah Dimyathi (Comal, Pemalang), KH Khalil (Sirampog, Brebes), KH Anshori (Linggapura, Brebes), KH Nuh (Pageraji, Banyumas) yang merupakan kiai-kiai yang hafal Al-Qur’an, mereka kerap sekali belajar ilmu Al-Qur’an kepada Syaikh Abdul Malik.

Kehidupan Syaikh Abdul Malik sangat sederhana, di samping itu ia juga sangat santun dan ramah kepada siapa saja. Beliau juga gemar sekali melakukan silaturrahiem kepada murid-muridnya yang miskin. Baik mereka yang tinggal di Kedung Paruk maupun di desa-desa sekitarnya seperti Ledug, Pliken, Sokaraja, dukuhwaluh, Bojong dan lain-lain.

Hampir setiap hari Selasa pagi, dengan kendaraan sepeda, naik becak atau dokar, Syaikh Abdul Malik mengunjungi murid-muridnya untuk membagi-bagikan beras, uang dan terkadang pakaian sambil mengingatkan kepada mereka untuk datang pada acara pengajian Selasanan (Forum silaturrahiem para pengikut Thariqah An-Naqsyabandiyah Al-Khalidiyah Kedung paruk yang diadakan setiap hari Selasa dan diisi dengan pengajian dan tawajjuhan).

Murid-murid dari Syaikh Abdul Malik diantaranya KH Abdul Qadir, Kiai Sa’id, KH Muhammad Ilyas Noor (mursyid Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah sekarang), KH Sahlan (Pekalongan), Drs Ali Abu Bakar Bashalah (Yogyakarta), KH Hisyam Zaini (Jakarta), Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya (Pekalongan), KH Ma’shum (Purwokerto) dan lain-lain.

Sebagaimana diungkapkan oleh murid beliau, yakni Habib Luthfi bin Yahya, Syaikh Abdul Malik tidak pernah menulis satu karya pun. “Karya-karya Al-Alamah Syaikh Abdul Malik adalah karya-karya yang dapat berjalan, yakni murid-murid beliau, baik dari kalangan kyai, ulama maupun shalihin.”

Diantara warisan beliau yang sampai sekarang masih menjadi amalan yang dibaca bagi para pengikut thariqah adalah buku kumpulan shalawat yang beliau himpun sendiri, yaitu Al-Miftah al-Maqashid li-ahli at-Tauhid fi ash-Shalah ‘ala babillah al-Hamid al-majid Sayyidina Muhammad al-Fatih li-jami’i asy-Syada’id.”

Shalawat ini diperolehnya di Madinah dari Sayyid Ahmad bin Muhammad Ridhwani Al-Madani. Konon, shalawat ini memiliki manfaat yang sangat banyak, diantaranya bila dibaca, maka pahalanya sama seperti membaca kitab Dala’ilu al-Khairat sebanyak seratus sepuluh kali, dapat digunakan untuk menolak bencana dan dijauhkan dari siksa neraka.

Syaikh Abdul Malik wafat pada hari Kamis, 2 Jumadil Akhir 1400 H (17 April 1980) dan dimakamkan keesokan harinya lepas shalat Ashar di belakang masjid Baha’ul Haq wa Dhiya’uddin, Kedung Paruk Purwokerto.

BIOGRAFI MBAH MALIK
Sumber disini

SYEKH KHATIB SAMBAS

Khatib Sambas dilahirkan di Sambas, Kalimantan Barat, Beliau memutuskan untuk pergi menetap di Makkah pada permulaan abad ke-19, sampai beliau wafat pada tahun 1875. Diantara guru beliau adalah; Syaikh Daud ibn Abdullah al-Fatani, seorang syekh terkenal yang berdomisili di Makkah, Syaikh Muhammad Arshad al-Banjari, dan Syekh Abd al-Samad al-Palimbani. Menurut Naquib al-Attas, Khatib Sambas adalah Syaikh Qadiriyyah dan Naqshabandiyyah. Hurgronje menyebutkan bahwa Beliau adalah salah satu guru dari Syaikh Nawawi al-Bantani, yang mahir dalam berbagai disiplin ilmu Islam.

Zamakhsari Dhafir menyatakan bahwa peranan penting Syaikh Sambas adalah melahirkan syaikh-syaikh Jawa ternama dan menyebarkan ajaran Islam di Indonesia dan Malaysia pada pertengahan abad ke-19.

Kunci kesuksesan Syaikh Sambas ini adalah bahwa beliau bekerja sebagai fath al-Arifin, dengan mempraktekkan ajaran sufi di Malaysia yaitu dengan bay'a, zikir, muraqabah, silsilah, yang dikemas dalam Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah.

Gambaran Disiplin Ilmu Syaikh Sambas

Masyarakat Jawa dan Madura, mengetahui disiplin ilmu Syaikh Sambas melalui ajaran-ajarannya setelah beliau kembali dari Makkah. Dikatakan bahwa Syaikh Sambas merupakan Ulama yang sangat berpengaruh, dan juga banyak melahirkan ulama-ulama terkemuka dalam bidang fiqh dan tafsir, diantaranya Syaikh Abd al-Karim Banten. Abd al-Karim terkenal sebagai Sulthan al-Syaikh, beliau menentang keras imperialisme Belanda pada tahun 1888 dan kemudian meninggalkan Banten menuju Makkah untuk menggantikan Syaikh Sambas.

Sebagian besar penulis Eropa membuat catatan salah, mereka menyatakan bahwa sebagian besar Ulama Indonesia bermusuhan dengan pengikut Sufi. Hal terpenting yang perlu ditekankan adalah bahwa Syaikh Sambas adalah sebagai seorang Ulama, dimana tuduhan penulis Eopa tersebut tidak tepat ditujukan kepada beliau. Syaikh Sambas dalam mengajarkan disiplin ilmu Islam bekerja sama dengan syaikh-syaikh besar lainnya yang bukan pengikut thariqat seperti Syaikh Tolhah dari Cirebon, dan Syaikh Ahmad Hasbullah ibn Muhammad dari Madura, dimana mereka berdua pernah menetap di Makkah.

Thariqat Qadiriyyah wa Naqsabhandiyyah menarik perhatian sebagian masyarakat muslim Indonesia, khususnya di wilayah Madura, Banten, dan Cirebon, dan pada akhir abad ke-19 Thariqat ini menjadi sangat terkenal. Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah tersebar luas melalui Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalaam.

Periode Setelah Syaikh Sambas

Pada tahun 1970, ada 4 tempat penting sebagai pusat Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah di pulau Jawa yaitu: Rejoso (Jombang) di bawah bimbingan Syaikh Romli Tamim, Mranggen (Semarang) di bawah bimbingan Syaikh Muslih, Suryalaya (Tasikmalaya) di bawah bimbingan Syaikh Ahmad Sahih al-Wafa Tajul Arifin (Mbah Anom), dan Pagentongan (Bogor) di bawah bimbingan Syaikh Thohir Falak. Rejoso mewakili garis aliran Ahmad Hasbullah, Suryalaya mewakili garis aliran Syaikh Tolhah dan yang lainnya mewakili garis aliran Syaikh Abd al-Karim Banten dan penggantinya.

Pada prakteknya, ajaran Thariqat disampaikan melalui ceramah umum di masjid atau majelis ta'lim di rumah salah satu anggota Thariqat. Sehingga tidak mengagetkan jika selama masa ceramah umum, tidak ada materi yang terekam dengan cermat. Bagaimanapun juga, di bawah bimbingan Mbah Anom, mempunyai kontribusi yang besar, dimana ajaran thariqat dibukukan dalam sebuah kitab berjudul Miftah ash-Shudur. Tujuan dari kitab ini adalah untuk mengajarkan teori dan praktek Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah sebagai usaha mencapai kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Hasil usahanya yang lain terkemas dalam kitab Uqud al-Juman, al-Akhlaq al-Karimah, dan buku Ibadah sebagai Metode Pembinaan Korban Penyalahgunaan Narkotika dan Kenakalan Remaja.

Peranan Thariqat dalam Reformasi Sosial

Maulana Syaikh Muhammad Nazim Adil telah menjelaskan bahwa setelah terorisme, permasalahan terbesar umat manusia kedua adalah penyalahgunaan narkotika oleh generasi muda (The Muslim Magezine, Spring 1999). Permasalahan sosial ini bukan hanya dialami oleh bangsa Barat, tetapi juga menimpa kalangan generasi muda seluruh dunia. Walaupun jumlah korban narkoba di negara-negara Asia tidak sebesar di Barat, tetapi permasalahan ini menarik perhatian yang sangat serius bagi Mbah Anom untuk mendirikan Pondok Inabah, pusat rehabilitasi korban narkoba dengan dzikir sebagai obatnya. Metodologi Mbah Anom didasarkan pada hasil pengalaman spiritual beliau sebagai seorang sufi dan kepercayaannya bahwa dzikrullah mengandung pencahayaan/penerangan, karakter khusus dan rahasia yang dapat mengobati muslim yang mempercayainya. Hal ini didasarkan pada firman Allah: "Ingatlah pada-Ku, maka Aku akan mengingatmu". Jasa dan keuntungan dari dzikir di Pondok Pesantren Suryalaya dapat dirasakan oleh sebagian masyarakat yang telah pergi berobat ke sana.

Penelitian terhadap metodologi Mbah Anom pernah dilakukan oleh DR. Emo Kastomo pada tahun 1989. Dia melakukan evaluasi secara random terhadap 5.929 orang pasien di 10 Pondok Inabah. Dan hasilnya, 5.426 orang sembuh, 212 orang dalam proses menuju sembuh, dan 7 orang pasien meninggal dunia.

Peranan Thariqat dalam Politik

Ada tiga keikutsertaan pengikut Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah dalam usaha mancapai Indonesia merdeka, yaitu:

Pertama, keikutsertaan para syaikh dan haji di Banten pada revolusi Juli 1888. Dilaporkan bahwa Syaikh Abd al-Karim Banten tidak tertarik dengan akivitas politik, namun penggantinya Haji Marzuki lebih berpikiran reformis dan sangat anti Belanda. Walaupun Thariqat tidak memimpin dalam revolusi, tetapi Belanda khawatir dengan pengaruhnya, dan sebagian besar diantara mereka meyakini bahwa secara umum pengikut sufi khususnya Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah merupakan organisasi yang mempunyai tujuan untuk mengalahkan kekuatan kolonial.

Kedua, perlawanan yang dilakukan oleh suku Sasak, pengikut Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah Syaikh Guru Bangkol. Belanda mempertimbangkan bahwa Thariqat merupakan faktor terpenting timbulnya pemberontakan-pemberontakan. Walaupun penasehat Pemerintah Belanda Snouck Hurgrounje memberikan masukan bahwa terlalu berlebihan untuk menilai Thariqat sebagai usaha politik untuk melawan Belanda, pendapatnya tersebut tidak dindahkan sampai muncul Syarikat Islam, sebuah organisasi politik yang berdiri pada tahun 1911.

Ketiga, sekarang di Jawa ada tiga cabang terbesar Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah yaitu Rejoso, Mranggen, dan Suryalaya, masing-masing memberikan dukungan terhadap partai-partai politik, dimana beberapa diantara mereka terlibat aktif dalam partai politik.

Gambaran Thariqat di Indonesia Sekarang

Pada tahun 1957, Jam'iyyah Ahl Thariqah Mu'tabarah didirikan oleh Nahdlatul Ulama, yang pada saat itu juga berbentuk partai. Tujuannya adalah untuk menyatukan semua kekuatan Thariqat dan memelihara silsila yang dimulai dari Nabi Muhammad Saw.. Jam'iyyah ini memelihara dan mengajarkan ajaran tasawuf dari 45 kekuatan Thariqat yang pernah ada pada tahun 1975. Syaikh Mustain Romly dari Rejoso diangkat sebagai pimpinan Jam'iyyah ini. Pada tahun 1979, ketika Syaikh Mustain Romli merubah afiliansinya dari Partai Persatuan Pembangunan ke GOLKAR, para Ulama mendirikan Jam'iyyah Ahl al-Thariqah al-Nahdliyyah, Pimpinan Jam'iyyah ini adalah Syaikh Haji DR. Idham Kholid, dimana pada saat itu pernah menyambut kedatangan Syaikh Muhammad Hisham Kabbani pada bulan Desember 1977.

Sumber disini

SYEKH ABDUL HAMID

DENGAN rasa rendah hati artikel ini memberi sedikit informasi dan jawapan beberapa persoalan yang masih belum diketahui umum tentang ulama besar yang berasal dari Kudus ini. Sebagai contoh dalam buku berjudul Intelektual Pesantren oleh Dr. Abdurrahman Masud, terbitan LKIS Yogyakarta, cetakan pertama 2004, hlm. 107, tertulis, ``Adalah benar bahwa jumlah penulis di lingkungan pesantren dapat dihitung dengan jari, seperti Nawawi sendiri dan pendahulu-pendahulunya, Arsyad al-Banjari, Abd al-Hamid bin Muhammad Ali Kudus (penulis Latif al-Isyarat).'' Pada nota kaki mengenai ini tertulis pula, ``Sejauh ini tidak terdapat sumber untuk mengungkap secara pasti tanggal daripada biografi Abd al-Hamid bin Muhammad Ali Kudus.'' Sebenarnya ulama besar yang asal-usulnya dari Kudus, Jawa Tengah, kelahiran Mekah yang diriwayatkan ini sekurang-kurangnya ada tiga sumber karangan orang Arab dalam bahasa Arab dan dapat dibandingkan 22 buah karangan beliau sendiri. Sebenarnya Syeikh Nawawi al-Bantani (lahir 1230 H/1814 M), adalah guru dan jauh lebih tua daripada Syeikh Abdul Hamid Kudus. Syeikh Abdul Hamid Kudus lahir di Mekah, dalam Mukhtashar Nasyrun Naur waz Zahar dinyatakan lahir 1277 H/1860 M, dan dalam Siyar wa Tarajim dinyatakan lahir 1280 H/1863 M. Beliau juga wafat di Mekah tahun 1334 H/1915 M. Nama lengkap ialah Syeikh Abdul Hamid bin Muhammad Ali Qudus / Kudus bin Abdul Qadir al-Khathib bin Abdullah bin Mujir Qudus / Kudus.

Syeikh Abdul Hamid Kudus mendapat pendidikan asas pertama sekali dari lingkungan keluarganya yang ramai menjadi ulama. Sejak kecil menghafaz al-Quran dan terlatih dengan banyak matan pelbagai bidang ilmu. Matan-matan yang dihafalnya sejak kecil ialah Matn al-Ajrumiyah, Matn al-Alfiyah, Matn ar-Rahbiyah, semuanya dalam bidang ilmu nahu. Matn as-Sanusiyah tentang ilmu akidah. Matn as-Sullam dan Matn az-Zubad, kedua-duanya meliputi akidah, fikah dan tasawuf. Para ulama besar yang terkenal dan menjadi guru beliau ialah Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan, Sayid ``Utsman Syatha dan saudaranya Sayid Abu Bakri Syatha. Dalam bidang khusus mengenai ushul fiqh, hadis, tafsir dan tasawuf Syeikh Abdul Hamid Kudus memperdalamkannya kepada Sayid Husein al-Habsyi. Syeikh Abdul Hamid Kudus pula adalah orang kepercayaan Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki dalam bidang keilmuan setelah Syeikh Ahmad al-Fathani. Hubungan antara Syeikh Abdul Hamid Kudus dengan Syeikh Ahmad al-Fathani sangat rapat. Syeikh Abdul Hamid Kudus selain dilantik sebagai salah seorang pentashih kitab beliau seringkali diutus oleh Syeikh Ahmad al-Fathani ke Mesir dalam urusan cetak mencetak kitab, terutama hubungan dengan Syeikh Mushthafa al-Halaby, pemilik syarikat cetak kitab yang terbesar di Mesir pada zaman itu.

Daripada ulama-ulama tersebut, Syeikh Abdul Hamid Kudus memperoleh ijazah khusus dan umum, dan mereka pula memberikan keizinan kepada beliau mengajar di Masjidil Haram dan di rumahnya. Manakala Syeikh Ahmad al-Fathani merintis jalan mulai belajar di Masjid Jamik Al-Azhar (tahun 1290 H/1872 M) Syeikh Abdul Hamid Kudus mengikuti langkah Rais thala'ah (Ketua tela'ah atau tutor)nya itu belajar di tempat yang sama (1300 H/1882 M). Syeikh Abdul Hamid Kudus merupakan generasi kedua mahasiswa dunia Melayu yang belajar di al-Azhar sesudah Syeikh Ahmad al-Fathani, sejak itu beliau sentiasa pulang pergi antara Mekah dan Mesir dalam urusan tertentu yang ada kaitannya dengan kerja-kerja Syeikh Ahmad al-Fathani.

Sebenarnya Syeikh Abdul Hamid Kudus telah mengarang pelbagai judul dalam banyak disiplin ilmu, semuanya dalam bahasa Arab. Walau bagaimana pun pada judul artikel ini saya sebut bahawa beliau adalah ``pakar ilmu arudh dan qawafi''. Kedua-duanya termasuk dalam bidang ilmu kesusasteraan Arab. Dengan ilmu ini dapat diketahui bagaimana timbangan-timbangan syair dan nazam dalam bahasa Arab. Setakat ini informasi yang ada hanya dua orang ulama yang berasal dari dunia Melayu yang menulis dalam kedua-dua ilmu tersebut. Seorang lagi ialah Syeikh Ahmad al-Fathani `Rais Thala'ah' bagi Syeikh Abdul Hamid Kudus. Karangan Syeikh Abdul Hamid Kudus yang ada pada saya adalah sebagai berikut:

1. Irsyadul Muhtadi ila Syarh Kifayatil Mubtadi, diselesaikan sesudah Zuhur, hari Khamis, 3 Muharam 1306 H. Kandungannya membicarakan akidah dan ia merupakan syarah daripada karya ayahnya, Syeikh Muhammad Ali Kudus. Dicetak oleh Mathba'ah al-Maimuniyah, Mesir, Ramadan 1309 H. Di bahagian tepinya dicetak matan karya ayahnya, Syeikh Muhammad Ali Kudus tersebut. Ditashih oleh Muhammad az-Zahari al-Ghamrawi.

2. Al-Anwarus Saniyah `alad Duraril Bahiyah, diselesaikan pertengahan Rabiulakhir 1311 H. Kandungannya membicarakan akidah, fikah dan tasawuf. Merupakan syarah daripada karya gurunya Sayid Abi Bakar Syatha. Cetakan pertama, Mathba'ah al-Miriyah al-Kainah Mekah, 1313 H.

3. Fat-hul Jalilil Kafi bi Mutammimati Matnil Kafi fi `Ilmayil `Arudh wal Qawafi, diselesaikan pada hari Isnin, 19 Rabiulawal 1313 H. Kandungannya membicarakan ilmu arudh dan qawafi atau kesusasteraan Arab. Dicetak oleh Mathba'ah al-Husainiyah al-Mashriyah, milik Muhammad Abdul Lathif Khathib, 1325 H. Kata pujian oleh Sayid Ahmad Bik al-Huseini, Muhammad Musa al-Bujiraimi as-Syafi'ie di al-Azhar, Muhammad al-Halaby as-Syafi'ie di al-Azhar dan Ahmad ad-Dalbasyani al-Hanafi di al-Azhar. Ditashih oleh Muhammad az-Zahari al-Ghamrawi.

4. Al-Futuhatul Qudsiyah fi Syarhit Tawassulatis Sammaniyah, diselesaikan pada Zuhur, akhir Muharam 1322 H. Kandungan pada muqaddimahnya pengarang menyebut bahawa beliau adalah penganut Mazhab Syafie dalam fikah, Mazhab Abu Hasan al-Asy'ari dalam akidah, dan penganut Thariqat Khalwatiyah. Sebab-sebab beliau menulis kitab ini adalah atas permintaan Qadhi Muslimin Negeri Surakarta ibu kota Jawa, beliau ialah Al-'Allamah al-Hamam asy Syeikh Raden Tabshirul Anam, supaya menulis syarah matan Al-Qashidatur Rajziyah yang bernama Jaliyatul Kurbi wa Manilatu `Arabi. Pada awal perbicaraan pengarang menyebut tentang sanad-sanad thariqat, di antaranya beliau juga mempunyai hubungan dengan Syeikh Abdus Shamad bin Abdur Rahman al-Falimbani. Dicetak oleh Mathba'ah al-Hamidiyah al-Mashriyah, 1323 H. Taqriz dinyatakan ramai ulama tetapi yang dapat disebut pada akhir karangan hanya dua orang ulama saja ialah Syeikh Jami' Al-Azhar, bernama Syeikh Abdur Rahman asy-Syarbaini asy-Syafi'ie dan Syeikh Muhammad Thumum al-Maliki Al-Azhari. Kitab ini dimiliki pertama oleh Muhammad Thaiyib bin Sulaiman ahli Pekalongan pada 7 Rejab 1323 H. Sesudah itu dimiliki oleh Tuan Guru Haji Abu Bakar bin Haji Hasan, Qadhi Muar, Johor dan pada hari Isnin, 13 Rabiulakhir 1420 H/26 Julai 1999 M diserahkan kepada saya oleh Haji Muhammad bin Haji Abu Bakar bin Haji Hasan, Qadhi Muar, Johor.

5. Lathaiful Isyarat ila Syarhi Tashilit Thuruqat li Nazhamil Waraqat fil Ushulil Fiqhiyah, diselesaikan pada hari Isnin, 12 Rabiulawal 1326 H. Kandungannya membicarakan ilmu ushul fiqh. Terdapat berbagai-bagai edisi cetakan, di antaranya Mathba'ah Dar at-Thiba'ah al-Mashriyah, 54-60 Baserah Street Singapura (tanpa tahun).

6. Kanzun Najahi was Surur fil Ad'iyatil lati ila Tasyarruhis Shudur, diselesaikan pada hari Jumaat, bulan Safar 1328 H. Kandungannya membicarakan berbagai-bagai amalan wirid, doa, zikir dan lain-lain. Cetakan pertama oleh Mathba'ah At-Taraqqil Majidiyah al-'Utsmaniyah, Mekah, 1330 H. Kata pujian oleh Syeikh Muhammad Sa'id bin Muhammad Ba Bashail, Mekah, Sayid Husein bin Muhammad bin Husein al-Habsyi, Sayid Umar bin Muhammad Syatha, Sayid Muhammad ibnu Sayid Muhammad ibnu al-Faqih Sayid Idris al-Qadiri al-Maghribi al-Hasani, Syeikh Muhammad bin Syamsuddin, Syeikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani, dan Syeikh Umar Hamdan.

Karangan Syeikh Abdul Hamid Kudus yang belum saya miliki ialah:

7. Risalah fi al-Basmalah min Nahiyah al-Balaghah.

8. Manzhumah fi al-Adab wa al-Akhlaq li al-Islamiyah.

9. Thali'us Sa'di ar-Rafi' fi Syarh Ilm al-Badi', kitab ini membicarakan ilmu badi'.

10. Fiqh Rubu' `Ibadat.

11. Nubzah fi at-Tashauwuf.

12. Ad-Durrah ats-Tsaminah fi al-Mawadhi' allati tusannu fiha ash-Shalah `ala Shahib as-Sakinah.

13. Tasythir al-Mudharriyah fi ash-Shalah `ala Khairil Bariyah.

14. Majmu' Bulugh al-Maram fi Maulid an-Nabiyi Shallalahu `alaihi wa Sallam.

15. Raja' Nail al-As'ad wa al-Qabul fi Madah Saiyidatina az-Zahra' al-Batul.

16. Bulughus Sa'di wa al-Amniyah fi Madah Umm al-Mu'minin al-Mabra-ah ash-Shiddiqiyah.

17. al-Jawahir al-Wadhiyah fi al-Adab wa al-Akhlaq al-Mardhiyah.

18. az-Zakhair al-Qudsiyah fi Ziyarah Khairil Bariyah.

19. At-Tuhfah al-Mardhiyah fi Tafsir al-Quran al-'Azhim bi al-'Ajamiyah.

20. Dhiyausy Syamsi ah-Dhahiyah.

21. Maulidun Nabiyi Shallalahu `alaihi wa Sallam.

22. Kanzul `Atha fi Tarjamah al-'Allamah as-Saiyid Bakri Syatha.

Syeikh Abdul Hamid Kudus adalah seorang ulama yang sangat bertuah kerana melahirkan seorang anak yang menjadi ulama besar yang warak, yang meneruskan perjuangannya, iaitu Syeikh Ali bin Syeikh Abdul Hamid Kudus as-Samarani. Beliau dilahirkan tahun 1310 H/1892 M dan wafat pada hari Isnin, 14 Syawal 1363 H/1 Oktober 1944 M.

Syeikh Ali anak Syeikh Abdul Hamid Kudus mendapat pendidikan langsung daripada ayahnya. Selanjutnya juga belajar kepada Syeikh Muhammad Mahfuz Termas, Syeikh Muhammad Mukhtar bin Atharid al-Bughri (Bogor), kedua-duanya adalah ulama yang berasal dari dunia Melayu yang pengetahuannya setaraf dengan ulama-ulama bangsa Arab yang berada di Mekah pada zaman itu. Syeikh Ali Kudus selain mempusakai martabat ulama seperti ayahnya, Syeikh Abdul Hamid Kudus sekali gus beliau juga menghasilkan karangan, di antaranya ialah ar-Raddu `ala ar-Rawafidh. Kandungannya merupakan penolakan pegangan golongan Rafidhiyah, iaitu salah satu firqah golongan Syiah yang dianggap menyeleweng daripada ajaran Islam. Selain itu beliau juga menulis banyak artikel yang dimuat dalam majalah. Dalam tahun 1343 H/1925 M Syeikh Ali Kudus bersama keluarganya pindah dari Mekah ke Jawa Timur mendirikan sebuah madrasah di sana. Selanjutnya pindah pula ke Sulawesi, di sana juga menyebarkan ilmu-ilmu demi memartabat agama Islam yang dianutnya.
Sumber disini

SYEKH ABDUL WAHAB ROKAN

BABUSSALAM, Langkat, Sumatera Timur adalah merupakan pusat penyebaran Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah yang terbesar di Sumatera sesudah aktiviti Syeikh Ismail bin Abdullah al- Minankabawi. Mursyid Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Babussalam tersebut pada satu ketika sangat terkenal hingga ke Semenanjung Tanah Melayu terutama Johor dan Singapura. Namanya ketika kecil ``Abul Qasim'', digelar juga dengan ``Faqih Muhammad''. Nama lengkap Syeikh Abdul Wahhab bin `Abdul Manaf bin Muhammad Yasin bin Maulana Tuanku Haji Abdullah Tembusai. Lahir 10 Rabiulakhir 1242 H/11 November 1826 M). Wafat di Babussalam, Langkat, pada hari Jumaat, 21 Jamadilawal 1345 H/26 Disember 1926 M. Moyangnya Maulana Tuanku Haji Abdullah Tembusai adalah seorang ulama besar dan golongan raja-raja yang sangat berpengaruh pada zamannya.

PENDIDIKAN

Selain pendidikan dari lingkungan keluarga sendiri Abdul Wahhab belajar kepada Tuan Guru Haji Abdul Halim di Tembusai. Dalam 1846 M - 1848 M Abdul Wahhab merantau ke Semenanjung, pernah tinggal di Johor dan Melaka. Dalam tempoh lebih kurang dua tahun itu digunakannya kesempatan mengajar dan belajar. Di antara gurunya ketika berada di Malaya (Malaysia Barat) ialah Tuan Guru Syeikh Muhammad Yusuf seorang ulama yang berasal dari Minangkabau. Masih dalam tahun 1848 itu juga Abdul Wahhab meneruskan pengembaraannya menuju ke Mekah dan belajar di sana hingga tahun 1854 M. Di antara gurunya sewaktu di Mekah ialah Syeikh Muhammad Yunus bin Syeikh Abdur Rahman Batu Bara, Asahan, dan lain-lain. Pelajaran tasawuf khusus mengenai Thariqat Naqsyabandiyah Abdul Wahhab dididik oleh seorang ulama besar yang cukup terkenal, beliau ialah Syeikh Sulaiman Zuhdi di Jabal Abi Qubis, Mekah.

PULANG DAN AKTIVITI

Tuan Guru Syeikh Abdul Wahhab Rokan pulang ke tanah air dalam tahun 1854 M dan dalam tahun itu juga mengajar di Tanjung Mesjid, daerah Kubu Bagan Siapi-api, Riau. Dalam tahun 1856 M beliau juga mengajar di Sungai Mesjid, daerah Dumai, Riau. Selanjutnya mengajar di Kualuh, wilayah Labuhan Batu tahun 1860 M. Mengajar di Tanjung Pura, Langkat tahun 1865 M. Mengajar di Gebang tahun 1882 M, dan dalam tahun itu juga berpindah ke Babussalam, Padang Tualang, Langkat. Di Babussalamlah dijadikan sebagai pusat seluruh aktiviti, sebagai pusat tarbiyah zhahiriyah, tarbiyah ruhaniyah dan dakwah membina umat semata-mata mengabdi kepada Allah s.w.t.

Sungguh pun demikian Tuan Guru Syeikh Abdul Wahhab Rokan tidak mengabaikan perjuangan duniawi kerana beliau bersama-sama dengan Sultan Zainal Abidin, Sultan Kerajaan Rokan dan Haji Abdul Muthallib, Mufti Kerajaan Rokan pernah mengasaskan ``Persatuan Rokan''. ``Persatuan Rokan'' bertujuan secara umumnya adalah untuk kemaslahatan dan kebajikan Rokan. Walau bagaimana pun tujuan utamanya adalah perjuangan kemerdekaan untuk melepaskan Kerajaan Rokan dari penjajahan Belanda. Pembahagian kerja ``Persatuan Rokan'' ialah Sultan Zainal Abidin sebagai pelaksana segala urusan luar negeri. Haji Abdul Muthallib menjalankan pekerjaan-pekerjaan dalam negeri dan Tuan Guru Syeikh Abdul Wahhab sebagai menerapkan pendidikan memberi semangat pada masyarakat.

PERKAMPUNGAN BABUSSALAM

Dalam tarikh 12 Syawal 1300 H/12 Ogos 1883 M Tuan Guru Syeikh Abdul Wahhab Rokan bersama 160 orang pengikutnya dengan menggunakan 13 buah perahu memudiki Sungai Serangan menuju perkampungan peribadatan dengan undang-undang atau peraturannya tersendiri yang dinamakan Babussalam. Pendidikan mengenai keislaman diterapkan setiap hari dan malam, sembahyang berjemaah tidak sekali-kali diabaikan. Tilawah al-Quran, selawat, zikir, terutama zikir menurut kaedah Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah dan lain-lain sejenisnya semuanya dikerjakan dengan teratur di bawah bimbingan ``Syeikh Mursyid'' dan ``khalifah-khalifah''nya. ``Syeikh Mursyid'' adalah Tuan Guru Syeikh Abdul Wahhab Rokan sendiri. ``Khalifah'' ada beberapa orang, pada satu ketika di antara ``khalifah'' terdapat salah seorang yang berasal dari Kelantan. Beliau ialah khalifah Haji Abdul Hamid, yang masih ada kaitan kekeluargaan dengan Syeikh Wan Ali bin Abdur Rahman Kutan al-Kalantani.

Pada tahun 1342 H/1923 M Asisten Residen Belanda bersama Sultan Langkat menyematkan ``Bintang Emas'' untuk Tuan Guru Syeikh Abdul Wahhab Rokan. Wakil pemerintah Belanda menyampaikan pidatonya pada upacara penyematan bintang itu, ``Adalah Tuan Syeikh seorang yang banyak jasa mengajar agama Islam dan mempunyai murid yang banyak di Sumatera dan Semenanjung dan lainnya, dari itu kerajaan Belanda menghadiahkan sebuah ``Bintang Emas'' kepada Tuan Syeikh. Seorang sufi sebagai Tuan Guru Syeikh Abdul Wahhab Rokan penyematan bintang seperti itu bukanlah merupakan kebanggaan baginya, mungkin sebaliknya bahawa bisa saja ada maksud-maksud tertentu daripada pihak penjajah Belanda untuk memperalatkan beliau untuk kepentingan kaum penjajah yang sangat licik itu. Oleh itu, dengan tegas Tuan Guru Syeikh Abdul Wahhab Rokan berkata ketika itu juga, ``Jika saya dipandang seorang yang banyak jasa, maka sampaikanlah pesan (amanah) saya kepada Raja Belanda supaya ia masuk Islam.''

KARYA

Tidak banyak diketahui hasil penulisan Tuan Guru Syeikh Abdul Wahhab Rokan. Setakat ini yang dapat dikesan ialah:

1. Munajat, merupakan kumpulan puji-pujian dan pelbagai doa.

2. Syair Burung Garuda, merupakan pendidikan dan bimbingan remaja .

3. Wasiat, merupakan pelajaran adab murid terhadap guru, akhlak, dan 41 jenis wasiat.

Petikan 41 wasiat yang dimaksudkan beliau antaranya; Wasiat yang pertama, ``Hendaklah kamu sekalian masyghul dengan menuntut ilmu Quran dan kitab kepada guru-guru yang mursyid. Dan hinakan diri kamu kepada guru kamu dan perbuat apa-apa yang disuruhnya. Jangan bertangguh. Dan banyak-banyak bersedekah kepadanya. Dan seolah-olah diri kamu itu hambanya. Dan jika sudah dapat ilmu itu maka hendaklah kamu ajarkan kepada anak cucu, kemudian kepada orang lain. Dan kasih sayang kamu akan muridmu seperti kasih sayang akan cucu kamu. Dan jangan kamu minta upah dan makan gaji sebab mengajar itu, tetapi minta upah dan gaji itu kepada Tuhan Esa lagi Kaya Murah, iaitu Allah Ta'ala.''

Wasiat yang kedua, ``Apabila kamu sudah baligh hendaklah menerima Thariqat Syaziliyah atau Thariqat Naqsyabandiyah supaya sejalan kamu dengan aku. ``Wasiat yang kedua ini jelas bahawa Tuan Guru Syeikh Abdul Wahhab Rokan sangat menekankan amalan tarekat. Mengenai ini juga ada hujah-hujah yang kuat di kalangan penganut-penganut sufi, walau pun ada golongan yang tidak sependapat dengan yang demikian itu. Pada pandangan saya mempertikaikannya adalah merupakan pekerjaan yang sia-sia, kerana bermujadalah adalah termasuk salah satu sifat mazmumah (dicela) oleh syarak Islam.

Wasiat yang ketiga, ``Jangan kamu berniaga - maksudnya jika terdapat penipuan atau pun riba. Jika hendak mencari nafkah hendaklah dengan tulang empat kerat seperti berhuma dan berladang dan menjadi amil (orang yang bekerja, pen:). Dan di dalam mencari nafkah itu hendaklah bersedekah tiap-tiap hari supaya segera dapat nafkah. Dan jika dapat ringgit sepuluh, maka hendaklah sedekahkan satu dan taruh sembilan. Dan jika dapat dua puluh, sedekahkan dua. Dan jika dapat seratus, sedekahkan sepuluh dan taruh sembilan puluh. Dan apabila cukup nafkah kira-kira setahun maka hendaklah berhenti mencari itu dan duduk beramal ibadat hingga tinggal nafkah kira-kira empat puluh hari maka boleh mencari.''

Wasiat yang keempat, ``Maka hendaklah kamu berbanyak-banyak sedekah sebilang hari istimewa pada malam Jumaat dan harinya. Dan sekurang-kurang sedekah itu empat puluh duit pada tiap-tiap hari. Dan lagi hendaklah bersedekah ke Mekah pada tiap-tiap tahun.''

Wasiat yang kelima, ``Jangan kamu bersahabat dengan orang yang jahil dan orang fasik. Dan jangan bersahabat dengan orang kaya yang bakhil. Tetapi bersahabatlah kamu dengan orang

alim-alim dan ulama-ulama dan salih-salih.''

* Wasiat yang keenam, ``Jangan kamu hendak kemegahan dunia dan kebesarannya seperti hendak menjadi kadi, imam dan lain-lainnya istimewa pula hendak jadi penghulu-penghulu dan lagi jangan hendak menuntut harta benda banyak-banyak. Dan jangan dibanyakkan memakai pakaian yang halus.''

Wasiat yang ketujuh, ``Jangan kamu menuntut ilmu sihir seperti kuat, dan kebal dan pemanis serta lainnya kerana sekalian ilmu telah ada di dalam al-Quran dan kitab.''

Wasiat yang kelapan, ``Hendaklah kamu kuat menghinakan diri kepada orang Islam, dan jangan dengki khianat kepada mereka itu. Dan jangan diambil harta mereka itu melainkan dengan izin syarak.''

Demikianlah 8 wasiat yang dipetik dari 41 wasiat Syeikh Abdul Wahhab Rokan, semuanya masih perlu perbahasan atau pentafsiran yang panjang. Kerana jika tidak ditafsirkan kemungkinan orang-orang yang berada di luar lingkungan sufi akan beranggapan bahawa wasiat beliau itu sebagai penghalang terhadap kemajuan dunia moden. Sebelum anda sempat mengikuti pentafsirannya, saya berpendapat bahawa jalan menuju takwa kepada Allah sekali-kali adalah tidak menghalang kemajuan dunia moden jika kemajuan itu tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.

MURID

Murid Syeikh Abdul Wahhab Rokan sangat ramai: Di antara muridnya yang dianggap mursyid dan khalifah dan yang sangat giat menyebarkan Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Batu Pahat, Johor ialah Syeikh Umar bin Haji Muhammad al-Khalidi. Muridnya yang lain ialah Syeikh Muhammad Nur Sumatera. Murid Syeikh Muhammad Nur Sumatera ialah Haji Yahya Laksamana al-Khalidi an-Naqsyabandi, Rambah, Sumatera. Beliau ini adalah penyusun buku berjudul Risalah

ULAMA NUSANTARA
Sumber disini

KH. CHOLIL MADURA

PULAU Madura yang terletak di Jawa Timur ramai melahirkan ulama besar sejak zaman dulu hingga sekarang. Salah seorang di antara mereka yang diriwayatkan ini, nama lengkapnya ialah Kiyai Haji Muhammad Khalil bin Kiyai Haji Abdul Lathif bin Kiyai Hamim bin Kiyai Abdul Karim bin Kiyai Muharram bin Kiyai Asrar Karamah bin Kiyai Abdullah bin Sayid Sulaiman.

Yang terakhir ini (Sayid Sulaiman) dikatakan adalah cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati yang terkenal itu. Salasilah selanjutnya, adalah Syarif Hidayatullah itu putera Sultan Umdatuddin @ Umdatullah @ Abdullah yang memerintah di Cam (Campa). Ayahnya pula ialah Sayid Ali Nurul Alam bin Sayid Jamaluddin al-Kubra (wafat di Tuwajok, Sulawesi), dan seterusnya hingga ke atas.

Memperhatikan salasilah di atas, maka bererti ulama yang berasal dari Pulau Madura yang diriwayatkan ini, adalah daripada asal salasilah dengan Syeikh Nawawi al-Bantani atau Imam Nawawi ats-Tsani ulama yang berasal dari Banten, Jawa Barat, yang riwayatnya telah dimuatkan dalam Ruangan Agama, Utusan Malaysia, 7 Februari 2005. Dalam salasilah Syeikh Nawawi al-Bantani, Sayid Ali Nurul Alam itu bernama Ali Nuruddin, disebutkan al-mutawaffa fil Anam bis Shin (maksudnya wafat di Anam, negeri China).

Dalam salasilah ulama Patani, Ali Nurul `Alam itu bernama Ali al-Masyhur al-Laqihi. Pada masa mudanya pernah ke Jawa, kemudian menyebarkan Islam ke Madura dan Sumbawa, kemudian pulang ke Cam/ Campa dan seterusnya ke Patani memperoleh beberapa orang anak. Di antaranya bernama Wan Muhammad Shalih al-Laqihi al-Fathani. Beliau ini memperoleh seorang anak, iaitu Zainal Abidin @ Faqih Wan Musa al-Fathani, kuburnya telah ditemui di Kampung Tok Diwa, Sena, Patani. Beliau adalah ulama yang membuka Kampung Sena, Patani. Memperhatikan catatan ini bererti bahawa Wan Muhammad Shalih al-Laqihi adalah saudara seayah dengan Sultan Umdatuddin di Cam/Campa itu kerana kedua-duanya putera Ali Nurul `Alam. Bererti pula bahawa Faqih Wan Musa al- Fathani adalah saudara sepupu dengan Syarif Hidayatullah/Sunan Gunung Jati, salah seorang Wali Sembilan (di Jawa) yang sangat terkenal itu, kerana kedua-duanya adalah cucu Ali Nurul `Alam. Wan Muhammad Shalih al-Laqihi keturunan lurusnya ke bawah, iaitu Syeikh Wan Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani. Ali Nurul `Alam yang tersebut itu wafat di Cam/Campa, yang oleh kebanyakan penulis, terutama penulis-penulis Indonesia, mengatakan di Anam itu. Dalam catatan ulama Patani disebut bahawa jenazah Ali Nurul `Alam itu telah dipindahkan di Binjal Lima Patani.

Daripada apa yang disebutkan di atas, salasilah Kiyai Khalil al-Maduri (Madura) selain satu salasilah dengan Syeikh Nawawi al-Bantani, bererti juga satu salasilah dengan Syeikh Ahmad al-Fathani. Catatan ini saya nyatakan di sini adalah hasil penyelidikan terkini, dan keterangan selengkapnya saya bicarakan dalam Tabaqat Ulama Asia Tenggara jilid 1.

Pendidikan
Kiyai Muhammad Khalil dilahirkan pada 11 Jamadilakhir 1235 Hijrah/27 Januari 1820 Masihi di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Kiyai Haji Muhammad Khalil berasal daripada keluarga ulama. Pendidikan dasar agama diperolehnya langsung daripada keluarga. Menjelang usia dewasa, beliau dikirim ke berbagai-bagai pondok pesantren. Sekitar 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Kiyai Muhammad Khalil belajar kepada Kiyai Muhammad Nur di Pondok-pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok-pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok-pesantren Keboncandi. Selama belajar di pondok-pesantren ini beliau belajar pula kepada Kiyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kiyai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya. Dalam masa masih menjadi santeri/pelajar di beberapa pondok-pesantren di Jawa lagi Muhammad Khalil telah menghafal beberapa matan, yang pasti ialah Matan Alfiyah Ibnu Malik (1,000 bait) mengenai ilmu nahu yang terkenal itu. Selanjutnya beliau juga seorang hafiz al-Quran tiga puluh juzuk. Beliau berkemampuan dalam qiraah tujuh (tujuh cara membaca al-Quran). Tidak jelas apakah al-Quran tiga puluh juzuk telah dihafalnya sejak di Jawa atau pun setelah menetap di Mekah berpuluh-puluh tahun.

Pada 1276 Hijrah/1859 Masihi, Kiyai Muhammad Khalil melanjutkan pelajarannya ke Mekah. Di Mekah Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri bersahabat dengan Syeikh Nawawi al-Bantani. Ulama-ulama dunia Melayu di Mekah yang seangkatan dengan Syeikh Nawawi al-Bantani (lahir 1230 Hijrah/1814 Masihi), Kiyai Khalil al-Manduri (lahir 1235 Hijrah/1820 Masihi), Syeikh Muhammad Zain bin Mustafa al-Fathani (lahir 1233 Hijrah/1817 Masihi), Syeikh Abdul Qadir bin Mustafa al-Fathani (lahir 1234 Hijrah/1818 Masihi), Kiyai Umar bin Muhammad Saleh Semarang dan ramai lagi. Di antara gurunya di Mekah ialah Syeikh Utsman bin Hasan ad-Dimyathi, Saiyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad al-Afifi al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani dan ramai lagi. Beberapa sanad hadis yang musalsal diterima daripada sahabatnya Syeikh Nawawi al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima, Sumbawa). Walau pun Syeikh Ahmad al-Fathani jauh lebih muda daripadanya, iaitu peringkat anaknya, namun kerana tawaduknya, Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri pernah belajar kepada ulama yang berasal dari Patani itu. Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri termasuk generasi pertama mengajar karya Syeikh Ahmad al-Fathani berjudul Tashilu Nailil Amani, tentang nahu dalam bahasa Arab, di pondok-pesantrennya di Bangkalan. Karya Syeikh Ahmad al-Fathani yang tersebut kemudian berpengaruh dalam pengajian ilmu nahu di Madura dan Jawa sejak itu, bahkan hingga sekarang masih banyak pondok-pesantren tradisional di Jawa dan Madura diajarkan kitab itu.

Saya tidak sependapat dengan tulisan yang menyebut bahawa Kiyai Muhammad Khalil teman seangkatan dengan Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau dan Syeikh Muhammad Yasin Padang (majalah Amanah 42 dan Ensiklopedia Islam Indonesia), kerana sewaktu Kiyai Muhammad Khalil ke Mekah tahun 1276 Hijrah/1859 Masihi, Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau baru dilahirkan (1276 Hijrah/1859-1860 Masihi). Syeikh Muhammad Yasin Padang pula belum dilahirkan, beliau jauh kebelakang daripada Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau. Syeikh Yasin Padang meninggal dunia sekitar tahun 1990an. Kemungkinan ayah Syeikh Yasin Padang, iaitu Syeikh Isa bin Udik Padang itulah yang bersahabat dengan Syeikh Muhammad Khalil al-Maduri.

Mengenai ilmu thariqat, Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri belajar kepada beberapa orang ulama thariqat yang terkenal di Mekah pada zaman itu, di antaranya daripada Syeikh Ahmad Khatib Sambas diterimanya baiah dan tawajjuh Thariqat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah. Thariqat Naqsyabandiyah juga diterimanya daripada Sayid Muhammad Shalih az-Zawawi, dan selainnya ramai lagi, di antaranya termasuk kepada Syeikh Utsman Dimyathi juga.

Sewaktu berada di Mekah untuk perbelanjaannya sehari-hari, Kiyai Muhammad Khalil bekerja mengambil upah sebagai penyalin risalah-risalah yang diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahawa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga, iaitu: Syeikh Nawawi al-Bantani, Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri dan Syeikh Saleh as-Samarani (Semarang) menyusun kaedah penulisan huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.

Murid-muridnya yang terkenal
Oleh sebab Kiyai Muhammad Khalil cukup lama belajar di beberapa pondok-pesantren di Jawa dan Mekah, maka sewaktu pulang dari Mekah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahu, fikah, thariqat ilmu-ilmu lainnya. Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Kiyai Muhammad Khalil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya. Pondok-pesantren tersebut kemudian diserahkan pimpinannya kepada anak saudaranya, sekali gus adalah menantunya, ialah Kiyai Muntaha. Kiyai Muntaha ini berkahwin dengan anak Kiyai Muhammad Khalil bernama Siti Khatimah. Adapun beliau sendiri (Kiyai Khalil) mendirikan pondok-pesantren yang lain di Kota Bangkalan, letaknya sebelah Barat kota tersebut dan tidak berapa jauh dari pondok-pesantrennya yang lama.

Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri adalah seorang ulama yang bertanggungjawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. Beliau sedar benar bahawa pada zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya. Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus peratus memeluk agama Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu memeluk agama Kristian. Sesuai dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari Mekah telah berumur lanjut, tentunya Kiyai Muhammad Khalil tidak melibatkan diri dalam medan fizik, memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan pemuda di pondok pesantren yang diasaskannya. Kiyai Muhammad Khalil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda kerana dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya. Sama ada tokoh ulama mahu pun tokoh-tokoh lainnya yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat pendidikan daripada Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri itu.

Di antara sekian ramai murid Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri yang tidak asing lagi, yang cukup umum diketahui, dalam sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah Kiyai Haji Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok-pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdhatul Ulama atau singkatannya NU); Kiyai Haji Abdul Wahhab Hasbullah (pendiri Pondok-pesantren Tambakberas, Jombang); Kiyai Haji Bisri Syansuri (pendiri Pondok-pesantren Denanyar); Kiyai Haji Ma’shum (pendiri Pondok-pesantren Lasem, Rembang, adalah ayahanda Kiyai Haji Ali Ma’shum), Kiyai Haji Bisri Mustofa (pendiri Pondok-pesantren Rembang); dan Kiyai Haji As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok-pesantren Asembagus, Situbondo). Salah seorang muridnya yang menyebarkan Islam melalui Thariqat Naqsyabandiyah Ahmadiyah Muzhariyah ialah Kiyai Haji Fathul Bari. Kiyai Haji Fathul Bari yang tersebut sangat ramai muridnya di Madura, Jawa dan Kalimantan Barat. Sebagaimana gurunya, Kiyai Haji Fathul Bari juga dikatakan banyak melahirkan kekeramatan. Kubur beliau terletak di Kampung Peniraman, Kecamatan Sungai Pinyuh, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat. Dan masih ramai murid Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri yang muncul sebagai tokoh-tokoh besar yang belum sempat dicatat dalam artikel ringkas ini.

Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri, wafat dalam usia yang lanjut, 106 tahun, pada 29 Ramadan 1341 Hijrah/14 Mei 1923 Masihi.

Sumber disini

KH.RADEN ASNAWI




Kyai Haji Raden Asnawi itulah nama yang digunakan setelah menunaikan ibadah haji yang ketiga hingga wafat. Adapun nama sebelumnya ialah Raden Ahmad Syamsi, kemudian sesudah beliau menunaikan ibadah haji yang pertama berganti nama Raden Haji Ilyas dan nama inilah yang terkenal di Mekah. KH.R. Asnawi adalah putra yang pertama dari H. Abdullah Husnin seorang pedagang konfeksi yang tergolong besar di Kudus pada waktu itu, sedang ibunya bernama R.Sarbinah. KH.R. Asnawi lahir di kampung Damaran, Kudus pada tahun 1281 H (+1861 M), beliau termasuk keturunan ke-14 dari Sunan Kudus (Raden Ja’far Shodiq) dan keturunan ke-5 dari Kyai Haji Mutamakin seorang wali yang kramat di desa Kajen Margoyoso Pati, yang hidup pada zaman Sultan Agung Mataram.

Masa Mudanya
Sejak kecil beliau diajar oleh orang tuanya sendiri, terutama dalam mengaji Al-Qur’an. Setelah berumur 15 tahun beliau diajak oleh orang tuanya ke Tulung Agung Jawa Timur untuk mengaji sambil belajar berdagang. Sesudah mendapat asuhan dan didikan dari orang tuanya, beliau kemudian mengaji di pondok pesantren Tulungagung, lalu berguru dengan Kyai H. Irsyad Naib Mayong Jepara sebelum pergi haji. Selama di Mekah beliau berguru antara lain dengan Kyai H. Saleh Darat Semarang, Kyai H. Mahfudz Termas dan Sayid Umar Shatha.

Menunaikan Ibadah Haji
Sewaktu umur 25 tahun beliau menunaikan ibadah haji yang pertama dan sepulangnya dari ibadah haji ini, beliau mulai mangajar dan melakukan tabligh agama. Diantaranya pada setiap hari Jum’ah Pahing sesudah shalat Jum’ah beliau mengajar ilmu tauhid di Masjid Muria (Masjid Sunan Muria) yang berjarak 18 Km dari kota Kudus, dan ini dilakukan dengan jalan kaki. Beliau berkeliling di masjid-masjid sekitar kota bila melakukan shalat subuh. Kira-kira umur 30 tahun beliau diajak oleh ayahnya untuk pergi haji yang kedua dengan niat untuk bermukim di tanah suci. Di saat-saat melakukan ibadah haji, ayahnya pulang ke rahmatullah, meskipun demikian, niat bermukim tetap diteruskan selama 20 tahun. Selama itu beliau juga pernah pulang ke Kudus beberapa kali untuk menjenguk ibunya yang masih hidup beserta adik yang bernama H. Dimyati yang menetap di Kudus hingga wafat. Ibunya wafat di Kudus sewaktu beliau telah kembali ke tanah suci untuk meneruskan cita-citanya.

Mukim Di Tanah Suci
Semula beliau tingal di rumah Syekh Hamid Manan Kudus, kemudian setelah kawin dengan ibu Nyai Hajjah Hamdanah (janda Almaghfurlah Kyai Nawawi Banten), beliau pindah tempat di kampung Syamiah Mekah dengan dikaruniai 9 orang anak, tetapi yang hidup sampai tua hanya 3 orang yaitu: H. Zuhri, H. Azizah istri KH. Shaleh Tayu dan Alawiyah istri R. Maskub Kudus. Selama bermukim di tanah suci, disamping menunaikan kewajiban sebagai kepala rumah tangga, beliau masih mengambil kesempatan untuk memperdalam ilmu agama dengan para Ulama besar, baik dari Indonesia (Jawa) maupun Arab, baik di Masjidil Haram maupun di rumah. Beliau juga pernah mengajar di Masjidil Haram dan di rumahnya, diantara yang ikut belajar antara lain: KH. Abdul Wahab Hasbullah Jombang, KH. Bisyri Samsuri Jombang, KH. Dahlan Pekalongan, KH. Shaleh tayu, KH. Chambali Kudus, KH. Mufid Kudus dan KH. A. Mukhit Sidoarjo. Disamping belajar dan mengajar agama Islam, beliau turut aktif mengurusi kewajibannya sebagai seorang Komisaris SI (Syariat Islam) di Mekah bersama dengan kawannya yang lain. Pada waktu beliau bermukim ini, pernah mengadakan tukar pikiran dengan salah seorang ulama besar, Mufti Mekah bernama Syekh Ahmad Khatib Minangkabau tentang beberapa masalah keagamaan. Pembahasan ini dilakukan secara tertulis dari awal masalah hingga akhir, meskipun tidak memperoleh kesepakatan pendapat antara keduanya. Karena itu beliau bermaksud ingin memperoleh fatwa dari seorang Mufti di Mesir, maka semua catatan baik dari tulisan beliau dan Syekh Ahmad Khatib tersebut dikirim ke alamat Sayid Husain Bek seorang Mufti di Mesir, akan tetapi Mufti Mesir itu tidak sanggup memberi ifta’-nya. (sayang, catatan-catatan itu ketinggalan di Mekah bersama kitab-kitabnya dan sayang keluarga KH.R.Asnawi lupa masalah apa yang dibahas beliau, meskipun sudah diberitahu). Melihat tulisan dan jawaban beliau terhadap tulisan Syekh Ahmad Khatib itu, tertariklah hati Sayid Husain Bek untuk berkenalan dengan beliau. Karena belum kenal, maka Mufti Mesir itu meminta bantuan Syekh Hamid Manan untuk diperkenalkan dengan KH.Asnawi Kudus. Akhirnya disepakati waktu perjumpaan yaitu sesudah shalat Jum’ah. Oleh Syeikh Hamid Manan maksud ini diberitahukan kepada beliau dan diatur agar beliau nanti yang melayani mengeluarkan jamuan. Sesudah shalat Jum’ah datanglah Sayyid Husain Bek ke rumah Syekh Hamid Manan dan beliau sendiri yang melayani mengeluarkan minuman. Sesudah bercakap-cakap, bertanyalah tamu itu: “Fin, Asnawi?” (Dimana Asnawi?), “Asnawi? Hadza Huwa” (Asnawi ? Inilah dia) sambil menunjuk beliau yang sedang duduk di pojok, sambil mendengarkan percakapan tamu dengan tuan rumah. Setelah ditunjukkan, Mufti segera berdiri dan mendekat beliau, seraya membuka kopiah dan diciumlah kepala beliau sambil berkenalan. Kata Mufti Sayyid Husain Bek kepada Syeikh Hamid Manan: Sungguh saya telah salah sangka, setelah berkenalan dengan Asnawi. Saya mengira tidaklah demikian, melihat jasmaniahnya yang kecil dan rapuh. Pada tahun 1916 beliau meninjau tanah airnya yang ada di Kudus, serta mengadakan hubungan dengan kawan-kawannya antara lain Bapak Sema’un, H. Agus Salim, Hos Cokroaminoto dan lain-lain dari tokoh SI. Berangkatlah beliau sendiri, sedang anak istri ditinggal di Mekah. Sesampainya di Kudus beliau bersama dengan kawan-kawannya mendirikan sebuah Madrasah yang di beri nama Madrasah Qudsiyyah pada tahun 1916 M. Dan tidak lama kemudian diadakan pembangunan Masjid Menara Kudus yang dilakukan secara gotong royong. Kalau malam para santri bersama-sama mengambil batu dan pasir dari Kaligelis untuk dikerjakan pada siang harinya. Di tengah-tengah melaksanakan pembangunan itu, terjadi suatu peristiwa huru-hara Kudus pada tahun 1918, dimana beliau dengan kawan-kawannya yang lain terpaksa harus menghadapi tantangan kaki tangan kaum penjajah yang menghina Islam. Itulah sebabnya niat kembali ke tanah suci menjadi gagal, sedang istri dan anak masih di Mekah.

Huru-Hara Kudus
Di tengah-tengah umat Islam mengadakan gotong royong untuk membangun Masjid Menara yang dikerjakan siang dan malam, oleh orang-orang Cina diadakan pawai yang akan melewati depan Masjid Menara. Oleh Ulama dan pemimpin-pemimpin Islam telah mengirim surat kepada pemimpin Cina, agar tidak menjalankan pawainya di muka Masjid Menara, mengingat banyak umat Islam yang melakukan pengambilan batu dan pasir pada malam hari. Permintaan itu ternyata tidak digubris, bahkan dalam rentetan pawai itu ada adegan dua orang Cina yang memakai pakaian haji dengan merangkul seorang wanita yang berpakaian seperti wanita nakal. Orang awam menamakan Cengge. Pawai Cina yang datang dari muka Masjid Manara menuju ke selatan kemudian berpapasan dengan santri-santri yang sedang bekerja bakti mengambil pasir dan batu dengan kendaraan grobak dorong (songkro). Kedua-duanya tidak ada yang mau mundur. Akhirnya seorang santri yang menarik songkro itu dipukul oleh orang Cina. Dengan adanya pemukulan terhadap orang Islam yang dilakukan oleh orang Cina, ditambah adanya Cengge yang menusuk perasaan umat Islam, maka terjadilah pertikaian antara para peserta pawai orang Cina dengan orang Islam yang sedang bekerja bakti mengambil pasir dan batu. Sekalipun pertikaian ini dapat dihentikan dan selanjutnya diadakan perdamaian, namun orang-orang Cina belum mau menunjukkan sikap damai, bahkan masih sering melontarkan ejekan terhadap orang Islam yang tengah mengambil pasir dan batu sepanjang jalan yang dilalui dari Kaligelis sampai menuju ke Masjid Manara Kudus. Karena itulah orang-orang Islam terpaksa mengadakan perlawanan terhadap penghinaan orang-orang Cina. Para ulama memandang beralasan untuk menyetujui adanya penyerangan pembelaan, tetapi tidak diadakan pembunuhan terhadap orang-orang Cina, pembakaran rumah maupun perampasan barang-barang milik orang Cina. Tetapi ada pihak ketiga yang mengambil kesempatan untuk mengambil barang-barang orang Cina dan tersentuhnya lampu gas pom sehingga menimbulkan kebakaran beberapa rumah, baik milik orang Cina maupun orang Jawa. Dengan dalih telah mengadakan pengrusakan dan perampasan oleh pemerintah penjajah, maka para Ulama ditangkap dan dimasukkan dalam penjara. Akhirnya KH.R.Asnawi yang dituduh sebagai salah satu penggerak, dijatuhi hukuman selama 3 tahun. Semula di penjara Kudus, kemudian pindah di penjara Semarang bersama-sama dengan KH.Ahmad Kamal Damaran, KH. Nurhadi dan KH. Mufid Sunggingan dan lain-lain.

Selama Dalam Penjara
Pada saat di penjara, istrinya (Nyai Hj. Hamdanah) beserta 3 orang putra-putrinya datang ke Kudus dari Mekah. Menurut cerita beliau, selama berada di penjara Kudus pada setiap malam Jum’ah, beliau mengadakan berjanjenan (membawa kitab Al-Barjanji) bersama dengan penghuni penjara dan selalu mengadakan shalat jamaah lima waktu. Di samping itu, beliau sempat menterjemahkan kitab Ajrumiyah (ilmu Nahwu) ke dalam bahasa Jawa, sayang karangan ini tidak dicetak dan disiarkan.

Sesudah Keluar Dari Penjara
Sebagai seorang yang memiliki jiwa pejuang, setelah keluar dari penjara beliau langsung terjun di tengah masyarakat untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang pemimpin masyarakat, diantaranya dengan berda’wah mengajar agama dan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Diantara ilmu yang diutamakan oleh beliau adalah Tauhid dan Fiqih. Pada tahun 1927 berdiri pondok pesantren yang diasuh oleh beliau di atas tanah wakaf dari KH. Abdullah Faqih dan mendapat dukungan dari para dermawan dan umat Islam di Kudus. Kegiatan beliau dalam melakukan tabligh tidak terbatas daerah Kabupaten Kudus saja, akan tetapi meluas ke daerah lain untuk menyebarkan aqidah Ahlusunnah Wal Jamaah antara lain sampai ke Tegal, Pekalongan, Semarang, Gresik, Cepu, dan Blora. Demikian halnya dalam mengadakan pengajian meliputi daerah Demak, Jepara, dan Kudus. Di pondok pesantrennya sendiri setiap tanggal 14 bulan hijriyah diadakan majelis ta’lim yang disebut Patbelasan, ribuan Muslimin dan Muslimat mendatangi majelis ini. Sayang majelis ini terhenti karena dihapus oleh pemerintah Jepang. Juga setiap tanggal 29 Rabiul Awal beliau menyelenggarakan peringatan maulud Nabi Muhammad Saw. Bersamaan mengadakan majelis khataman Al-Quran baik binnadzar maupun bil-ghaib yang diasuh oleh putranya (HM. Zuhri). Disamping melayani kebutuhan para santri yang ada di pondok pesantren tentang pengajian kitab, secara khusus beliau juga mengadakan wiridan, antara lain:Khataman Tafsir Jalalain dalam bulan Ramadlan di pondok pesantren Bendan Kudus.Khataman kitab Bidayatul Hidayah dan Hikam dalam bulan Ramadlan di Tajuk Makam Sunan Kudus.Membaca kitab Hadist Bukhari yang dilakukan setiap jamaah fajar dan setiap sesudah jama’ah shubuh selama bulan Ramadlan bertempat di Masjid Al-Aqsha Kauman MenaraKudus, sampai beliau wafat, kitab ini belum khatam, makanya diteruskan oleh Al-Hafidh KH. M. Arwani Amin sampai khatam. Sesudah selesai mendirikan pondok pesantren pada tahun 1927 M, pernah datang ke rumah beliau seorang tokoh Belanda yang faham tentang agama Islam bernama Van Der Plas. Kedatangannya di rumah untuk minta agar dilayani dengan bahasa Arab, demikian ujar petugas Kabupaten yang memberitahukan akan datangnya Van Der Plas dan menyampaikan kehendaknya. Adapun maksud Van Der Plas menemui beliau adalah bermaksud minta kesediaan beliau untuk memangku jabatan penghulu di Kudus. Secara tegas penawaran itu ditolaknya, sebab kalau diangkat sebagai penghulu tidak bebas lagi dalam melakukan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap para pejabat, lain kalau saya menjadi orang partikelir, dapat melakukan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap siapapun tanpa ada rasa segan (ewuh pekewuh).

Kegemarannya
Pada masa hidupnya beliau sangat gemar melakukan: Silaturrahim, baik di tempat yang dekat maupun yang jauh, baik terhadap orang tua maupun terhadap yang lebih muda. Amar ma’ruf nahi mungkar, terhadap siapapun terutama terhadap keluarganya asal terdapat hal-hal yang kurang baik apalagi terhadap hal yang nyata-nyata melanggar syara’. Beliau tidak segan-segan memberikan peringatan atau teguran. Ringan tangan bila diundang, asal undangan yang tidak melanggar syara’. Setiap tahunnya asal undangan tiada udzur, beliau pasti hadir dalam upacara Maulud Nabi yang diselengarakan oleh Sayid Ali Al-Habsyi Kwitang Jakarta. Pernah beliau berpesan: “Apabila ada orang yang minta pertolongan dan ada kemampuan untuk memenuhi, laksanakanlah permintaan itu, sebab Allah akan menolongmu”. Selalu memberi nasehat, baik kepada siapa saja terutama kepada anak dan cucunya. Kalau nasehat (pidato) suaranya lantang, sekalipun pahit, keras dan tegas sesuai dengan ajaran syariat di telinga tetapi manis dirasa.

Perjuangannya
Pada tahun 1924 M beliau ditemui oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah Jombang untuk bermusyawarah untuk membuat benteng pertahanan Aqidah Ahlussunah Wal Jamaah. Akhirnya beliau menyetujui gagasan KH.A. Wahab Hasbullah dan selanjutnya bersama-sama dengan para Ulama yang hadir di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M mendirikan jam’iyah Nahdlatul Ulama. Pada zaman penjajahan Belanda beliau sering dikenakan hukuman denda karena pidatonya yang mempertahankan kesucian Islam serta menanamkan nasionalisme terhadap umat Islam, baik di Kudus maupun di Jepara. Pada zaman penjajahan Jepang pernah dituduh menyimpan senjata api, sehingga rumah dan pondok beliau dikepung oleh tentara Dai Nippon, akhirnya beliau dibawa ke markas, Kempetai di Pati. Pada zaman awal revolusi kemerdekaan terutama pada masa menjelang agresi ke-1, beliau mengadakan gerakan ruhani dengan membaca sholawat Nariyah dan doa surat Al-Fil. Tidak sedikit para pemuda-pemuda kita yang tergabung dalam laskar-laskar bersenjata berdatangan untuk minta bekal ruhaniyah kepada beliau sebelum berangkat ke medan pertahanan di Genuk, Alastuo dan lain-lain. Oleh Bupati Kudus, Raden Surbakah pernah beliau dimintai untuk menempati pendopo Kabupaten sebagai tempat pengajian dan itu dipenuhi sehingga Bapak Bupati pindah. Majelis pengajian umum yang masih berjalan sampai sekarang ini ialah Sanganan di Masjid Agung Kauman Wetan Kudus dan majelis Pitulasan di Masjid Al-Aqsha Menara Kudus. Pondok Pesantrennya masih berjalan untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan beliau.

Keluarga Almarhum
Sesudah pergi haji yang pertama beliau menikah dengan putri KH. Abdullah Faqih Langgar dalem Kudus bernama Mudasih dan dianugrahi dua orang putra: 1. HM. Zaini mempunyai 5 orang anak. 2. Masy’ari mempunyai 2 orang anak. Pada waktu bermukim di Mekah beliau menikah dengan Nyai Hj. Hamdanah (janda almarhum Syeh Nawawi Banten) dan dianugrahi tiga orang anak: 1. HM. Zuhri mempunyai 5 orang anak 2. H. Azizah ( istri KH. Saleh Tayu ) mempunyai 5 orang anak. 3. Alawiyah, mempunyai 6 orang anak Sewaktu kembali ke Kudus pada tahun 1916, beliau dinikahkan dengan anak keponakan Khatib Khair di Kudus bernama Subandiyah tetapi tidak tidak dianugrahi anak hingga wafat. Sesudah itu kemudian nikah dengan ibu Muthi’ah mempunyai 2 anak: Siti Budur dan K. Mufadh. Beliau juga pernah menikah dengan Ibu Munijah Damaran dan tidak dikaruniai anak. Sewaktu beliau wafat meninggalkan 3 orang istri, 5 orang anak, 23 cucu dan 18 cicit (buyut).

KH. R. Asnawi Pulang Ke Rahmatullah
Hari Sabtu Kliwon tanggal 25 Jumadil Akhir 1378 H, bertepatan tanggal 26 Desember 1959 M, tepatnya jam 03.00 fajar beliau telah dipanggil pulang ke rahmatullah. KH.R.Asnawi, seorang ulama besar dan salah seorang pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama wafat dalam usia 98 tahun. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun

Sumber disini